SuaraRiau.id - Anggapan orang Sakai adalah suku terasing dan tertinggal era kini sudah tidak relevan lagi. Sebab, putra-putri Sakai di Riau sudah hampir mendominasi di lembaga negara hingga pengusaha. Bahkan yang teranyar adalah Mohamad Agar Kalipke (60), cendikiawan yang menimba ilmu hingga S2 di negara Eropa.
ORANG Sakai merupakan kelompok masyarakat adat di Riau, pola hidup mereka dulu adalah berpindah pindah atau nomaden. Masyarakat ini identik dengan keberadaan hutan, tak jarang perkampungan suku Sakai lokasinya selalu berdampingan dengan alam.
Namun seiring berjalannya waktu, kehidupan mereka mulai maju. Kini orang Sakai Riau, terutama yang menetap di wilayah Kabupaten Bengkalis sebagian besar sudah sarjana.
Mereka sadar bahwa kemajuan teknologi dan zaman adalah hal yang lumrah. Sehingga mau tidak mau, kehidupan Sakai yang awalnya ditopang dengan keberadaan hutan, kini sudah tidak lagi.
Bahkan, beberapa putra-putri Sakai juga sudah mendominasi di jajaran struktur pemerintah hingga pengusaha. Yang paling menonjol, adalah Mohamad Agar Kalipke, tokoh Sakai yang mengenyam bangku pendidikan hingga ke Jerman.
Di benua Eropa itu, Agar menamatkan pendidikan hingga jenjang strata 2 atau S2. Jurusan sastra dan bahasa di Universitas Hamburg dipilihnya sebagai tempat menimba ilmu.
Kisah Agar tersebut, dimulai berkisar tahun 1979, masa-masa itu menjadi titik awal perjalanan Mohamad Agar Kalipke bisa sampai ke Negeri Panzer. Dulu, ada seorang ilmuwan Jerman bernama Hans Kalipke yang melihat potensi dari sosoknya.
Ia pun berinisiatif menggandengnya untuk membantu misi penelitian tentang ragam budaya dan sosial kelompok masyarakat adat di pedalaman Riau.
Saat itu, Agar masih remaja, dan duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sambil mengenyam pendidikan, ia kerap kali membantu sang Ilmuwan untuk kebutuhan akademis. Perannya dominan menjadi penerjemah bahasa.
Masa-masa itu, teknologi memang belum secanggih sekarang ini. Namun Agar remaja sangat bersemangat dalam membantu Hans Kalipke dalam meneliti kehidupan masyarakat adat di tanah Melayu tersebut.
Pertemuannya dengan orang kulit putih ini pun ternyata juga punya kisah yang panjang. Setamat duduk di bangku Sekolah Pendidikan Terasing (SPT) setingkat SD di wilayah Muara Basung, kabupaten Bengkalis, pria kelahiran 19 Juli 1961 ini bertekad melanjutkan studi SMP dan SMA di Kota Pekanbaru.
Pimpinan kantor Departemen Sosial masa itu, H Abdul Karim Said yang memintanya untuk lanjut bersekolah. Dia pun bersemangat dan langsung dibawa ke kota Pekanbaru untuk dapat pendidikan lanjutan.
"Saya diundang oleh kepala kantor Departemen Sosial, H Abdul Karim Said namanya. Karena di wilayah kami di Duri dulu SMP langka, maka saya masuk SMP-nya di Pekanbaru," kata Agar, mengawali perbincangan dengan SuaraRiau.id, belum lama ini.
Tiga tahun berselang, memasuki kelas 3 SMP pada tahun 1979, Agar kaget, sebab di ibu kota Provinsi Riau itu, ia tiba-tiba ditemui oleh orang bule yang merupakan seorang Ilmuwan asal Jerman tadi. Kedatangannya bukan tanpa alasan, Hans rupanya tertarik dengan sosok dan potensinya.
Hans Kalipke menemui Agar ternyata juga lewat rekomendasi dari guru SD-nya bernama Sutarmo saat di Muara Basung, Kabupaten Bengkalis.
"Pak Hans Kalipke itu lebih dulu jumpa dengan Pak Sutarmo guru saya. Almarhum (Sutarmo) mengatakan bawa ia punya anak didik, namanya Agar, alamat di Jalan Diponegoro Pekanbaru. Jadi Pak Sutarmo itu yang mengirim Pak Hans Kalipke ke saya," tuturnya mengenang.
Tujuannya, saat itu Hans berniat ingin dibantu dan leluasa dalam menerjemahkan bahasa Sakai di Riau. Tentu, ia butuh seorang translator untuk menerjemahkan penyampaian orang Sakai yang ditemuinya di lapangan.
Dalam kisah hidup tokoh sakai ini, peran Sutarmo juga sangat berharga baginya. Agar mengingat, sosok Sutarmo merupakan guru sekolah yang mempunyai dedikasi tinggi, dia merupakan masyarakat suku Jawa. Namun demikian, dalam benak Agar, kecintaan sang guru itu terhadap budaya dan sosial Sakai melebihi orang Sakai itu sendiri.
"Beliau itu (Sutarmo) lebih Sakai daripada orang Sakai," ujarnya.
Lantas, pertemuannya dengan Hans Kalipke tersebut pun berlanjut, kisah panjang perjalanan Agar Kalipke bisa sampai ke Jerman itu dimulai sejak masa itu. Kurang lebih dua tahun berselang, Hans dengan Agar akrab dan menjalin kerjasama tak terikat.
Di Riau, Hans Kalipke memiliki misi untuk meneliti seluk-beluk suku Sakai dan suku-suku asli lainnya, utamanya yaitu tentang cara-cara dan pola pemikiran dasar anak sakai, serta cara belajar suku asli ini sendiri.
"Jadi yang beliau dapatkan di suku Sakai yaitu learning by doing, belajar sesuatu sambil melaksanakannya. Misal orang tua membuat anyaman, nah itu anak juga ikut. Jadi yang didapat, teori dan praktek sejajar, itu yang didapat beliau," kata dia.
Diajak ke Jerman
Pada 1982, Agar yang sudah berulang kali membantu kerja-kerja Hans di Riau itu pun diajak bertandang ke negara Jerman. Tapi Agar sempat meragukan ajakan orang bule itu, ia menganggap bahwa yang disampaikan Hans tersebut hanya gurauan semata.
"Setelah itu, tahun 1982, beliau bergurau dengan saya, 'jalan-jalan ke Jerman yuk', saya iyakan saja saat itu tanpa berpikir panjang," ungkap Agar.
Tak lama setelah berselang, Hans Kalipke pun pulang lebih dulu ke negerinya. Masa-masa itu, Agar terus terngiang atas ajakan tersebut, namun ia masih tetap saja meragukannya.
Berselang setengah tahun kemudian, Hans rupanya kembali menagih ucapannya untuk membawa Agar ke Jerman.
"Karena kita (Sakai) menjunjung tradisi, saya pun tanya ibu dan bapak. 'Pak saya diajak tuan itu ke Jerman'. Bapak saya mengizinkan, tapi ibu gak bolehin karena takut ada apa-apa (di sana)," kenangnya.
Lantas karena tekad yang begitu kuat, Agar pun memutuskan untuk berangkat juga. Ayah Agar Kalipke yang merupakan kepala perbatinan Sakai masa itu terus mengingatkannya supaya berhati-hati dan mawas diri.
Petuah 'Anak laki-laki gak boleh mati di rumah' menjadi cambuk semangat bagi Agar untuk berkelana. Niat dalam benaknya masa itu untuk belajar dan mencari pengalaman hidup baru.
Berangkat seorang diri
Dengan kemampuan bahasa Inggris yang masih terbata-bata, Agar memantapkan diri untuk berangkat ke Jerman menemui Hans. Walaupun ada rasa takut dan risau di benaknya kala itu, namun semangat yang besar tersebut melunturkan rasa takut.
Pesawat Garuda Indonesia dengan corak merah putih pada masa itu menemani perjalanan awal Agar sampai ke Jerman. Ia yang sama sekali belum pernah menaiki moda transportasi udara itu pun harap-harap cemas.
Bahkan ada kisah lucu dan selalu terkenang yang dialaminya semasa berangkat dari bandara Pekanbaru untuk transit di Singapura.
"Berangkatnya saya sendirian, modal nekat saja," ujarnya.
Setelah mendapatkan tiket pesawat, Agar pun bergegas berangkat pagi-pagi dari Pekanbaru. Pada saat itu, di dalam pesawat terdapat karpet permadani yang membentang jalan. Lantaran belum pernah naik pesawat, ia pun malah membuka sepatu.
"Waktu naik pesawat itu ada permadani, saya gak tau, jadi mau buka sepatu. Pas mau nunduk terus datang pramugarinya menegur saya," katanya.
Kenangan perjalanan tersebut masih terlintas jelas di benaknya. Sebab, dahulu ia sama sekali belum mengerti akan hal itu.
Dalam perjalanan ke Jerman, Agar banyak melakukan transit pesawat di luar negeri. Pertama mulai dari bandara di Pekanbaru ke Singapura. Di situ, Agar berpindah pesawat untuk menuju ke New Delhi India, kemudian lanjut lagi ke Moscow Rusia dan tujuan akhirnya di Kopenhagen Denmark.
Butuh waktu seharian untuk sampai ke eropa. Dari bandara Kopenhagen di Denmark, Agar rupanya sudah ditunggu lebih dulu oleh Hans dan mereka pun melanjutkan perjalanan darat menggunakan kereta api.
"Masa itu saya baru pertama kali naik pesawat dan kereta api. Semuanya serba baru lah. Pesawat yang dari Singapura itu besar, lebih besar dari rumah perasaan saya. Berkat pertolongan Allah, saya tak ada merasa takut, cuma was-was pasti ada," ungkapnya.
Menetap di Jerman dan melanjutkan studi
Sampai di Jerman, Agar yang pada masa itu masih mengenyam bangku SMA di Pekanbaru pun harus pulang lagi ke negerinya. Selama dua bulan, ia kembali ke Pekanbaru dan menamatkan sekolah.
Lalu pada 1983, setamat SMA, ia pun berangkat lagi ke Jerman untuk waktu yang lama. Kisah panjang 37 tahun di negara Eropa dilaluinya penuh suka dan duka mulai saat itu.
Di sana, lantaran sistem pendidikan yang berbeda, masa itu Agar kembali bersekolah setara jenjang SMA kurang lebih satu setengah tahun. Lepas itu, barulah ia masuk ke jenjang pendidikan sekolah tinggi.
Selama berkuliah, ia juga banyak berjumpa dengan warga negara Indonesia yang menetap di Jerman. Di sana, kehidupannya juga turut difasilitasi oleh Hans Kalipke; ilmuwan Jerman tadi.
Sepuluh tahun berselang, Hans Kalipke mengangkat Agar menjadi anaknya. Sejak saat itu, nama belakang sang ilmuwan itu tersemat di nama belakang Agar; Mohamad Agar Kalipke.
Hidup di Jerman ternyata memberikan pengalaman berharga bagi cendikiawan Sakai ini.
"Kuliahnya pertama kali saya sendirian, lama-lama kenal satu dan lain-lainnya. Ada juga di sana kelompok keluarga Islam Indonesia, itu rutin jumpa dan ada kegiatan pengajiannya," tuturnya.
Di jurusan sastra dan bahasa Universitas Hamburg itu, Agar yang memulai pendidikan sekitar tahun 1989, akhirnya selesai pada tahun 2000.
"Tahun 89-90 mulai studinya. Tahun 2000 selesai. Saya termasuk mahasiswa yang lama, karena bahasa asing," ungkapnya.
Setamat S-2 tersebut, Agar ternyata juga melanjutkan studi doktoral di Jerman. Namun karena beberapa kendala, studinya tersebut pun saat ini masih belum tuntas. Bahkan ia juga pernah menjadi dosen bahasa Indonesia di negeri Hitler tersebut.
"Sekarang S-3 berhenti dulu, jika umur masih panjang insyaallah dilanjutkan," ujarnya.
Selama masa-masa pendidikan itu, Agar juga masih tetap membantu kerja-kerja Hans Kalipke, bapak angkatnya tadi. Sesekali, ia juga pulang ke Indonesia untuk melakukan penelitian dan proyek ilmiah bersama-sama.
Dari sisi keluarga, Agar mendapatkan tambatan hati yang merupakan masyarakat asli Melayu dari Kabupaten Siak, Susi Maryeni Kalipke. Wanita itu ditemuinya tahun 2006. Kini Mohamad Agar Kalipke telah dikaruniai seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, Hayko Kalipke namanya.
Terakhir, Agar meninggalkan negeri Panzer tersebut pada 2019 akhir dan kembali tinggal menetap di tanah air.
Kepulangannya itu pun bukan tanpa sebab, karena, salah satu orang paling berjasa dalam hidupnya itu mesti lebih dulu berpulang ke sisi Tuhan Yang Maha Esa.
"Orang tua angkat sudah tidak ada lagi, jadi saya mikir, sudahlah, ada ilmu ini saya manfaatkan (untuk kembali ke Indonesia, red)," tuturnya.
Namun, sebelum wafat, orang tua angkat Agar Kalipke berpesan dan memberikan wasilah agar menjaga 5 hal. Salah satunya yaitu menjaga hubungan baik dengan tokoh Riau, Profesor dr Tabrani Rab yang merupakan sahabat dekat Hans Kalipke.
"Kemudian bapak angkat saya itu minta agar kultur budaya Sakai dibangun, dipertahankan dan dibangkitkan. Lalu kehidupan keluarga kami agar tidak berlebihan, artinya jangan berlebih-lebihan dalam suatu hal," ungkapnya mengenang.
Hans Kalipke, Ilmuwan asal Jerman yang banyak berjasa bagi Agar dan mengenalkan suku Sakai hingga ke luar Nusantara ini meninggal pada tahun 2018 lantaran sakit. Sejak itu, Agar dan keluarga memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Penulis Kamus Sakai-Jerman-Indonesia
Selain menimba ilmu, Mohamad Agar Kalipke ternyata juga aktif menulis beberapa buku dan karya ilmiah. Yang paling terkenal, karyanya berupa kamus Sakai-Jerman-Indonesia (2001) dan Pantun Melayu dan Sakai (2008).
Di samping itu, Agar juga pernah mengabdi sebagai dosen pengajar bahasa Indonesia di Jerman. Pengalaman dan ilmu yang didapatnya selama berkelana 37 tahun di sana dimanfaatkannya untuk ditularkan bagi generasi penerus. Cita-citanya, generasi muda Sakai di tanah Melayu ini punya potensi dan minat yang kuat untuk maju.
Ia ingin, generasi sakai dan para pemuda pada umumnya supaya punya mimpi dan semangat yang kuat, supaya tidak dipandang sebelah mata. Sebagai orang Sakai asli, ia pun menepis anggapan bahwa Sakai adalah suku terbelakang dan tertinggal.
"Kalau kita dinyatakan terbelakang itu tak cocok, terbelakang di bidang mana. Kita paham tradisi, mungkin (narasi-narasi) yang dimaksud keterbelakangan itu dengan alat-alat modern. Saya kira, kita (Sakai) dari segi pemikiran sudah maju, itu semua tergantung kesempatan yang diberikan, intelektualnya, otaknya, kita mungkin belum sempat isi dengan hal yang modern masa itu," ungkap Agar Kalipke.
Hal itu pun terbukti, pemuda-pemuda Sakai saat ini sudah tampil gemilang. Bahkan ada yang menjadi anggota DPR, mendominasi jadi pengusaha, sudah bangkit dan berkembang.
"Semua orang itu hanya perlu diberikan kesempatan, itulah sepertinya. Harapan besar saya, pemuda Sakai bisa mengabdi di negerinya sendiri, seperti Pertamina Hulu Rokan misalnya. Kita harap semua pihak dapat bantu membebaskan sakai dari kemiskinan, soal pendidikan dan keterancaman budaya Sakai," kata Agar.
Menurutnya, saat ini hutan sudah krisis, air dan alam juga demikian. Jadi, satu-satunya cara yaitu pemuda Sakai harus maju ke depan dan mengutamakan pendidikan.
"Tak ada jalan lain, pendidikan yang utama. Seterusnya pendidikan, segala pendidikan. Peluang itu sangat banyak, di TNI-Polri, Pertamina, dan lainnya. Gunakan kesempatan yang ada, cita-cita saya besar, saya katakan bahwa elemen masyarakat lainnya juga mesti ikut membantu masyarakat Sakai," pesannya.
"Kepada pemuda dan generasi penerus juga, kalian mesti punya semangat yang tinggi," tutur Cendikiawan Sakai ini.
Kontributor : Panji Ahmad Syuhada