SuaraRiau.id - Hutan yang berada di tanah ulayat masyarakat adat suku Sakai Kabupaten Bengkalis nyaris terkikis habis, luasnya tinggal 207 hektar dari sebelumnya 17.000 hektar.
Sisi kanan kontras dengan lahan sawit, juga bersempadan dengan konsesi HTI dan eksplorasi minyak dan gas. Menjaga hutan ini, masyarakat Sakai mengandalkan warkah dan sanksi adat, juga ditopang program pemberdayaan masyarakat adat.
JALAN setapak yang terletak di tanah ulayat masyarakat adat suku Sakai Bathin Sobanga terlihat kontras membelah kawasan hutan. Di sisi kiri, pepohonan tua rindang masih asri dengan suara khas tenggoret dan serangga hutan yang nyaring terdengar samar-samar.
Sementara sisi kanan, pohon-pohon sawit sudah berdiri tegak di lahan tandus yang berbukit. Usia sawit itu tentu lebih muda dari pepohonan di seberang jalan.
Baca Juga:Pasca Gigit Seorang Polisi, Hong Kong Mulai Kurangi Populasi Babi Hutan
Lokasi ini, menjadi akses utama menuju ke perkampungan masyarakat adat suku Sakai di Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis. Jalan bebatuan dengan luas hanya dua kendaraan roda empat itu dinamai Jalan Tanah Persatuan.
Seperti namanya, "persatuan" menjadi asas dan kekuatan masyarakat suku Sakai mempertahankan mati-matian hutan adat yang masih tersisa.
"Hutan adat kami ini hanya tinggal 207 hektar," kata Muhammad Nasir, kepada Suara.com.
Senin malam, 7 November 2021, kepala perbatinan suku Sakai Bathin Sobanga ini melintasi jalanan tersebut. Seperti biasa, suasana gelap dan hening ditambah embun yang membasahi kap mobilnya membuat hawa tampak mencekam.
Namun kondisi inilah yang tetap diharap masyarakat, lantaran, hutan tropis yang dijaga bersama tersebut diupayakan bisa tetap lestari.
Baca Juga:Indonesia Disebut Pemilik Lahan Mangrove Terbesar Dunia, Berapa Sih Luasnya?
Masyarakat Sakai, awal 2021 kembali berusaha untuk mendapatkan pengakuan hutan adat, mereka menyampaikan hajat itu ke Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, kemudian Pemerintah Provinsi Riau agar diteruskan ke Pemerintah Pusat.
Tujuannya supaya hutan yang tinggal sedikit itu tetap bisa dipertahankan dengan skema adat hingga bisa diwariskan ke generasi Sakai mendatang. Atau ringkasnya; pengakuan hutan adat oleh negara.
"Syarat dan berkas sudah kita siapkan, kita usulkan ke Pak Gubernur untuk diteruskan ke Bu Menteri KLHK, supaya hutan adat ini ditetapkan negara jadi hutan adat. Sekarang sedang menunggu," ujar Nasir.
Lokasi hutan ini, bersempadan dengan konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan lahan-lahan eksplorasi minyak dan gas blok Rokan yang dikelola PT Pertamina Hulu Rokan. Di situ, juga terdapat perkampungan dan ikon rumah adat suku Sakai yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu.
Masyarakat Sakai ingin, 207 hektare hutan yang telah dipetakan itu bisa tetap dipertahankan. Bahkan demi menjaga ini, para tetua Sakai juga menerapkan sanksi adat bagi orang yang sengaja menebang pohon hingga melakukan pelanggaran norma-norma di kawasan hutan adat.
"Ada hukum adat yang kami tetapkan, apabila ada warga datang wisata dengan pakaian tak sopan misalnya, itu ada sanksinya. Dan menebang atau merusak pohon tanpa izin, maka akan diterapkan sanksi adat," tegasnya.
Sanksi-sanksi tersebut dilakukan atas musyawarah dan mufakat para tetua adat suku Sakai. Mulai dari sanksi sosial hingga sanksi hukuman lainnya. Hal ini menurut Nasir, demi menjaga kedaulatan hutan adat hampir terkikis habis.
Habitat flora dan fauna langka
Sejak zaman leluhur Sakai dahulu, hutan dan sungai telah memberikan penghidupan. Masyarakat Sakai, masih memanfaatkan hutan sebagai sumber harapan. Namun kini, tergerus oleh zaman dan kemajuan, hutan yang dulu luasnya tak terkira tempat mereka bergantung hidup, kini nyaris redup.
Upaya-upaya dalam mempertahankan hutan yang jadi simbol masyarakat sakai terus dilakukan. Misal, seperti mengedukasi ke anak cucu, membuat plang larangan di hutan, hingga membuat warkah demi menjaganya tetap berdaulat.
Di hutan ini, flora dan fauna langka masih ada, jumlahnya tentu tak terkira. Mulai dari rempah, tanaman obat-obatan herbal, hingga satwa-satwa yang jarang ditemui sekalipun. Seperti rusa dan burung-burung langka.
Mereka mengenal banyak rempah yang dimanfaatkan sebagai kebutuhan hidup, mulai dari asam kandis, bawang putih kulip, jahe, serai, kunyit, asam komang hingga damar dan kayu manis. Rempah hasil alam tersebut sering dijadikan sebagai bahan pengobatan hingga bumbu masakan.
Bahkan makanan khas suku Sakai sendiri merupakan dari hasil hutan, ubi mangalo, sejenis ubi racun yang diolah menjadi sumber makanan.
Kemudian, panganan hasil alam lain dari hutan yaitu taeh atau sejenis mangga tapi asam, lalu kedumpa atau rambutan hutan, idat, puih, pelasa, tampui, dan ada buah yang pohonnya akar, biasa masyarakat Sakai menyebutnya otol. Tumbuhan tradisional ini sebagian besar merupakan jenis rempah, ada juga yang tidak. Namun semua dapat dimanfaatkan masyarakat Sakai menjadi berguna.
Masyarakat suku Sakai dalam tradisinya hingga kini juga masih menggunakan metode pengobatan dan ramuan tradisional. Aspek-aspek alam dimanfaatkan sebagai pendukung keberadaan kelompok masyarakat ini.
"Banyak sekali yang bisa kita manfaatkan dari hutan, Sakai memang identik dengan keberadaan hutan, dulu sumber kehidupan ya dari hutan dan sungai," kata Nasir.
Nasir mengaku, dalam menjaga kawasan hutan yang tersisa ini, kolaborasi berbagai elemen dan dibantu perhatian perusahaan migas untuk memberdayakan masyarakat Sakai. Banyak program yang dilimpahkan, seperti pemberdayaan petani, hingga program beasiswa dan kompetensi anak-anak Sakai.
Untuk itu juga, Nasir berharap, proses pengakuan hutan adat oleh negara dapat segera terealisasi. Sebab dengan demikian, hutan yang tersisa itu bisa tetap lestari.
Di sisi lain, tokoh Cendikiawan Sakai, Mohamad Agar Kalipke mengungkapkan, bahwa hutan merupakan apotek dan supermarket bagi suku Sakai.
"Hutan itu adalah supermarket dan apotek kita. Itu jelas dan tak perlu diterangkan lagi ya, karena dari hutan itu kita ada rempah-rempah, sayuran, umbian, rotan, palem, kluno atau ubi. Dulu kita itu tak kenal namanya beras, makanan pokoknya itu ubi," ungkapnya.
Berkisar 30 hingga 40 tahun ke belakang, lulusan magister sastra dan bahasa Universitas Hamburg ini mengungkapkan bahwa di hutan itu semuanya ada.
Masyarakat Sakai identik dengan alam, segalanya berasal dari alam. Apalagi soal rempah dan tanaman herbal yang menjadi andalan pengobatan. Jadi, kata dia, kelestarian hutan dan seisinya mesti terus dijaga. Termasuk juga tradisi dan budaya komunitas masyarakat ini.
Kolaborasi jaga hutan adat
Belum lama ini, dalam momen peringatan hari ozon sedunia, Aliansi Mahasiswa Duri bersama masyarakat menginisiasikan penanaman seribu bibit pohon di kawasan-kawasan yang tersebar di Duri, Kabupaten Bengkalis, 16 September 2021. Tema Hari Ozon Sedunia tahun ini adalah "Keeping us, our food, and vaccines cool".
Bersama masyarakat dan lintas komunitas, mereka juga menanam pohon di pinggiran kawasan hutan. Hal ini demi menjaga kelangsungan ekosistem dan menjaga flora fauna tetap lestari di habitatnya.
Sebagaimana dilansir laman resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tema Hari Ozon Sedunia tahun ini didasarkan pada Protokol Montreal.
Melalui peringatan ini, masyarakat dunia diajak untuk kembali turut aktif melestarikan lapisan ozon yang melindungi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Agenda itu dihadiri oleh para penggiat alam dan entitas peduli lingkungan yang berada di kota Duri. Turut hadir dalam momen hijau tersebut perwakilan dari Wildlife Conservation Indonesia, PPWI, Pokja Wartawan Peduli Lingkungan, Andalas TV, Komnas PA Bengkalis, RSF, Reksos, para pendidik peduli lingkungan dan pada actionnya juga dihadiri perwakilan PT Pertamina Hulu Rokan.
Raihan Afif Yazu dari Aliansi Mahasiswa Duri mengatakan bahwa memperingati hari Ozon Sedunia saat ini selain penanaman seribu bibit pohon, kita juga mengadakan beberapa kegiatan sperti pacu sampan Duri 2021, pada hari Sabtu dan Minggu 18-19 September yang di dukung oleh Pertamina Hulu Rokan.
"Untuk itu kami mengajak penggiat dan pemerhati lingkungan serta masyarakat umum untuk dapat berkontribusi bersama dalam melestarikan alam," katanya.
Untuk itu, lewat kegiatan pelestarian alam dengan menanam seribu bibit pohon tersebut, ia berharap dapat tepat sasaran dan menjadi area penghijauan yang bermanfaat bagi masyarakat saat ini dan masa mendatang.
Sakai berdaya dibina pertamina
Di sisi lain, jumlah pasti masyarakat adat suku Sakai puluhan ribu jiwa. Namun kini, sebagian besar orang Sakai telah banyak yang maju dan modern. Bahkan sebagian besar sudah sarjana.
Mereka adalah salah satu suku asli Riau yang telah menduduki bumi lancang kuning ratusan tahun lalu. Sumber sejarah menyebut, bahwa orang Sakai merupakan Proto Melayu atau Melayu tua.
Orang Sakai, sebagian besar saat ini tinggal di wilayah Kabupaten Bengkalis. Mereka terdiri dari beberapa kelompok masyarakat atau perbathinan yang menjadi wilayah kekuasaan adat. Dari setiap perbathinan, ada seorang bathin atau kepala suku yang dipercaya mengurusi soal tata wilayah hingga norma-norma. Lazimnya, seorang bathin merupakan keturunan dari bathin-bathin yang terdahulu.
Dalam mendukung kebangkitan Sakai yang berdaya era kini, perusahaan migas PT Pertamina Hulu Rokan juga turut serta. Di antaranya seperti pemberdayaan Kelompok Pertanian Terpadu Masyarakat Sakai Pematang Pudu, Bank Sampah Bathin Solapan, bantuan peralatan sekolah hingga inkubator karir bagi mahasiswa Sakai.
Di kelompok pertanian dan bank sampah yang dibina, masyarakat suku Sakai mendominasi. Mereka yang awalnya minim pengetahuan dan kemampuan, diberdayakan sehingga maju dan berkembang.
Seperti dari Kelompok Pertanian Terpadu Sakai misalnya, Mus Mulyadi (45), ketua kelompok mengaku bersyukur mendapatkan pembinaan dan pemberdayaan. Sebab sebelumnya, cara bertani konvensional yang diterapkan warga Sakai, kini jauh berubah dan semakin produktif.
Mus bercerita, bahwa selain modal usaha, warga Sakai yang tergabung dalam kelompok pertanian terpadu juga diberikan ilmu yang mumpuni, mulai dari pelatihan manajemen hingga praktek lapangan. Umumnya, masyarakat yang diambil untuk bergabung dalam kelompok tani binaan Pertamina yaitu warga kurang mampu, pemuda Sakai yang pengangguran hingga yang putus sekolah.
"Jadi nilai positifnya bagi sakai, kami mengenal cara tani yang menetap, merawat ikan dan berternak yang benar. Berkat pembinaan ini, kemandirian itu muncul sampai sekarang," kata Mus.
Dalam menjaga hutan sendiri, mereka sadar bahwa peran serta berbagai pihak turut menopang keseimbangan ekosistem dan kearifan lokal yang ada. Sehingga, dengan saling bersinergi, masyarakat Sakai tentu saling menopang dan mendukung aktivitas eksplorasi migas untuk negara.
Belum lama ini, Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan, Jaffe A Suardin datang langsung ke rumah adat suku Sakai di Desa Kesumbo Ampai. Bersama Bupati Bengkalis Kasmarni, dia juga melihat dan melintasi kawasan hutan adat tersebut.
Di sana, para petinggi ini disambut bak raja. Prosesi adat upah-upah juga dilakukan para kepala Perbatinan Sakai, termasuk kepala Bathin Sobanga Muhammad Nasir, Kamis 26 Agustus 2021.
"Kita adakan prosesi tepung tawar sebagai penyambutan, beliau jalan sambil meninjau hutan, mereka janji memperhatikan hutan dan masyarakat adat, mudah-mudahan ini kita jalin," tutur Nasir.
Kehadiran Bupati dan Dirut PT PHR diawali dari penyambutan dengan tarian porang suku sakai diiringi gendang odok oleh masyarakat Sakai yang terlihat kompak dan antusias menunggu kehadiran kedua tokoh ini.
Kemudian, dilanjutkan dengan prosesi Tepuk Tepung Tawar dari Bathin 8 dan 5 yang dimulai dengan tokoh masyarakat Sakai M Yatim, lalu Kepala Suku Sakai 8 dan 5 Datuk Amat, Sesepuh dan Cendekiawan Suku Sakai (Bathin Togonong) Muhammad Agar Kalike, Kepala Suku Sakai Bathin Minas (Saibulan) Muhammad Bosu dan Kepala Suku Sakai Sobanga (Iyo Bangso) Muhammad Nasir.
Atas hal ini, Bupati Bengkalis Kasmarni merasa bangga dengan sambutan masyarakat melayu Sakai kepada Direktur PT. PHR dan rombongan di Bumi Melayu.
“Kita tahu tradisi adat melayu tepuk tepung tawar ini merupakan ungkapan rasa gembira dan ucapan syukur serta do’a restu yang diberikan baik keselamatan, keberkahan, kedamaian serta kesuksesan dalam menjalankan aktifitas operasional serta produksinya, untuk terus bergerak maju, demi negara, bangsa, daerah dan masyarakat," kata Kasmarni, usai prosesi tepung tawar.
Menurutnya, ada dua nilai yang terdapat dalam tradisi tersebut yang diberikan kepada PT. PHR yakni "Tuah dan Amanah". Tuah dalam artian masyarakat melayu Sakai senantiasa berdo’a agar PT. PHR terus mendapatkan keberuntungan berdasarkan pertolongan Allah SWT.
Sedangkan amanah dalam artian masyarakat Sakai sangat meyakini bahwa keberadaan PT. PHR dalam pengelolaan blok rokan, merupakan aset berharga yang harus senantiasa dijaga serta dilindungi keberadaannya secara bersama-sama.
“Kita juga berharap, PT PHR dapat memberikan kontribusi kepada daerah ini, khususnya kepada masyarakat suku sakai. Baik itu melalui CSR, beasiswa pendidikan atau pekerjaan. mungkin tidak dapat memegang jabatan yang eksekutif, menjadi karyawan biasa pun jadilah, sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya,” harapnya.
Sementara itu, Dirut PT PHR Jaffe A Suardin mengaku terkesan atas sambut yang luar biasa dari masyarakat Suku Sakai. Dan berupaya akan memberikan perhatian kepada Suku Sakai dan masyarakat lainnya lewat program-program sosial di Pertamina.
“Kami juga mengajak masyarakat Suku Sakai untuk bersama berkolaborasi mendukung program yang akan kami laksanakan. Karena Alhamdulillah mulai dari hari Senin 9 Agustus 2021 kemarin, PT PHR sudah beroperasi di Bumi Melayu ini, Alhamdulillah kami mendapatkan dukungan dari Pemerintah Daerah dan seluruh masyarakat khusunya masyarakat Suku Sakai. Kami yakin dengan adanya dukungan ini kita akan menghasilkan sesuatu yang akan bermanfaat bagi masyarakat," tuturnya.
Kontributor : Panji Ahmad Syuhada