SuaraRiau.id - Peristiwa diusirnya relawan Front Persaudaraan Islam (FPI) oleh aparat kala membantu korban banjir beberapa waktu lalu disoroti Refly Harun.
Pakar Hukum Tata Negara itu terlihat geram terkait insiden yang terjadi di Cipinang Melayu, Jakarta Timur.
Kata Refly Harun, pengusiran itu seharusnya tak terjadi. Sebab FPI yang turut ingin membantu korban banjir bukanlah ormas yang terdahulu, yang sudah dibubarkan melalui SKB tiga menteri.
Ormas tersebut justru adalah FPI terbaru yang datang dengan logo dan atribut berbeda dari ormas terdahulu.
Refly menegaskan, sebenarnya ketika FPI dahulu sudah berubah menjadi Front Persaudaraan Islam, tak ada yang salah dengan aktivitasnya. Sebab kebebasan berserikat, berkumpul, dijamin oleh konstitusi.
Hal itu setidaknya tertuang pada Pasal 28 e ayat 3.
“Maka itu tak ada alasan melarang FPI, karena itu bagian dari human rights,” kata Refly di Youtube-nya seperti yang dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com, Selasa (23/2/2021).
Lebih lanjut, Refly pun merasa heran, mengapa negara sampai sedemikian menyudutkan FPI hingga relawan FPI untuk bantuan kemanusiaan seperti banjir saja diusir.
Padahal di satu kesempatan, Menkopolhukam Mahfud MD pernah mengatakan tak mengapa saat FPI berubah menjadi Front Persaudaraan Islam.
“Apalagi perbuatan yang dilakukan perbuatan mulia. Perkara menggunakan atribut wajar saja, mereka kan ormas, barangkali mereka menerapkan disiplin dalam menyalurkan bantuan tersebut. Jadi sangat aneh kalau mereka dilarang,” katanya lagi.
Refly lantas melanjutkan analisanya. Dia mengaku keheranan dengan kesalahan dari FPI sehingga negara sangat membencinya betul. Bahkan, bukan cuma dibubarkan, melainkan juga turut dilarang di sana dan sini.
Ketidakadilan itu setidaknya sudah terlihat sejak pentolan mereka Habib Rizieq Shihab (HRS) pulang kembali ke Indonesia pada 10 November 2020 lalu.
FPI selalu disudutkan dengan pelanggaran protokol kesehatan. Padahal, banyak sekali organisasi atau individu yang juga melakukan kesalahan serupa.
“Terlalu berlebihan kalau harus dilarang organisasinya. Beda hal kalau mereka melihat HRS sebagai ancaman politik yang harus diperhitungkan, kalau sudah begitu susah, karena sudah lihat dari sisi poltik,” katanya lagi.
Refly dengan geram, lantas mempertanyakan kembali relawan banjir FPI yang diusir saat hendak memberi bantuan. Sebab menurutnya, seharusnya bukan FPI, tetapi partai politik seperti PDI Perjuangan dan Gerindra lah yang disorot negara dan rakyat atas sikap kadernya yang melakukan korupsi bansos dan kekayaan laut.
Bukan terhadap FPI yang dalam hal ini justru akan memberi bantuan ke warga korban banjir. Atas sikap sayang-sayang terhadap parpol inilah yang kemudian disoroti Refly. Kata dia, negara sungguh tak adil memperlakukan FPI ketimbang PDI Perjuangan dan Gerindra.
“Kenapa kita tidak berusaha mempersalahkan partai, dilarang, dibanned, paling tidak untuk mengikuti pemilu, atau paling tidak elite-elitenya atau pengurusnya yang terlibat. Kalau korupsi ini terjadi di FPI pasti sudah geger.” kata dia.
“Selain itu, tidak juga ada upaya blokir rekening terhadap mereka yang korupsi, atau diduga bakal terlibat. Pantas saja korupsi merajalela, karena extra ordinary hanya di atas kertas.” lanjutnya.
Pada kesempatan itu, Refly dari suara hati yang paling dalam lantas menyebut jika negara memang tak adil terhadap FPI.
Atas ketidakadilan ini, tak menutup kemungkinan ke depan FPI justru akan kembali bangkit dan diakui lagi oleh rakyat. Seperti halnya Masyumi yang sempat dibubarkan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.