- Secercah harapan muncul di tengah ekspansi perkebunan sawit di Pelalawan.
- Sebuah komunitas tetap menjaga ruang hidup hutan adat yang kian sempit.
- Mereka berjuang menjaga hutan dengan kearifan lokal dan bernilai ekonomis.
SuaraRiau.id - Di tengah derasnya ekspansi perkebunan sawit di Kabupaten Pelalawan yang terus menekan ruang hidup hutan adat, harapan baru datang dari Earthworm Foundation (EF) - Yayasan Hutan Tropis. Harapan itu dimulai dari Hutan ulayat Imbo Tanah Baguo dan Kelompok Tani Barokah di Kepenghuluan Langgam.
Menyusuri jalan aspal menuju Kepenghuluan (Kelurahan) Langgam rasanya seperti tengah menembus dua dunia yang bertolak belakang. Di kiri dan kanan, sejauh mata memandang deretan sawit dan karet berdiri rapi. Ada yang kecil mungil, ada juga yang besar berdiri dengan gagah perkasa dengan daun-daun hijaunya.
Namun, di balik hamparan hijau itu, ternyata tersimpan kegelisahan yang tak selalu tampak di permukaan yaitu ruang hidup hutan adat yang kian menyempit.
![Datuk Kepenghuluan Besar Langgam, Nasrullah (berpeci) saat berbagi informasi dan cerita tentang Hutan Adat Imbo Tanah Baguo kepada belasan bule mitra EF baru-baru ini. [Suara.com/Rahmat Zikri]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/11/22/10770-datuk-kepenghuluan-besar-langgam.jpg)
"Ada persepsi, kalau tanah ditanami karet harganya akan sama dengan lahan kosong, tetapi kalau ditanami sawit harganya bisa naik berkali lipat per hektare," ujar Nasrullah Datuk Kepenghuluan Besar Langgam kepada Suara.com baru-baru ini.
Namun, di tengah derasnya ekspansi perkebunan sawit yang menjadi denyut ekonomi utama di Bumi Lancang Kuning, asa dan semangat baru untuk melindungi hutan dan mensejahterakan masyarakat datang dari organisasi nirlaba bernama Earthworm Foundation (EF) - Yayasan Hutan Tropis (YTH).
Khusus di Kelurahan Langgam, asa itu tumbuh dari sebuah rimba tua yang oleh masyarakat setempat disebut Imbo Tanah Baguo. Hutan ulayat yang masih berdiri tegak menjadi jantung dan paru-paru Kelurahan Langgam.
Dari sinilah, kisah tentang pelestarian, keyakinan, dan perjuangan hidup masyarakat adat itu kembali dimulai dengan semangat kolaborasi dan gotong royong.
"Hutan kami bernama Imbo Tanah Baguo. Kami tigo tali bapilin atau Tigo Tungku Sajarangan yaitu pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama menjaganya dengan sepenuh hati," ujar Nasrullah yang merupakan salah satu pemuka adat yang selalu setia dengan kopiah hitam di kepalanya.
Ia tak pernah diam saat ada yang bertanya.
Nasrullah bahkan selalu bersemangat menjawab dan memberi penjelasan meski sibuk membelah dedaunan saat menyusuri jalan setapak menuju hutan saat mengantar sejumlah bule dari berbagai negara masuk hutan baru-baru ini.
Setelah melihat Kelurahan Langgam dengan Imbo Tanah Baguo lebih dekat, ternyata menjaga harmoni tak selalu mudah.
Di satu sisi, masyarakat membutuhkan lahan produktif, sementara sisi lain, hutan ulayat menuntut perlindungan. Dilema itu bergulir dari generasi ke generasi.
"Hutan ulayat Imbo Tanah Baguo juga saling terhubung dengan dua hutan lainnya yaitu Imbo Salak dan Imbo Tanah Baleghiang. Di sekitar hutan ini ada sekitar 3.929 jiwa. Semoga ke depan Imbo Tanah Baguo bisa dicontoh oleh dua hutan lainnya hingga keseimbangan itu akan terwujud," kata Lurah Langgam, M Harlis yang juga ikut rombongan.
"Khusus tanaman cabai saat ini kami percayakan kepada Kelompok Tani Barokah di bawah komando Noor Kholis. Mereka bisa panen hampir setiap hari dan ini sebuah kemajuan," ungkapnya menambahkan.
Nasrullah menyampaikan hutan ulayat ini dijaga bukan hanya oleh tangan manusia tetapi juga oleh keyakinan "mistis" lama yang tak lekang oleh waktu dan mereka adalah Inyiak Balang.
"Selain kami, Langgam juga dijaga oleh 11 Inyiak Balang (harimau). Terakhir dua tahun lalu, saat ada fitnah di desa mereka datang dalam mimpi salah satu perwakilan suku dan menunjukkan solusi permasalahan. Imbo Tanah Baguo adalah pusat mereka berkumpul dan kami beri makan sebagai bentuk terima kasih," tutur dia.
Perjalanan ke hutan Imbo Tanah Baguo dilakukan secara hati-hati. Banyak tebing setinggi 5 meter yang memisahkan jalan kampung dan hutan. Di sisi lain harus menuruni tebing sedalam 10 meter.
Sejuk dan rindang, begitulah kesan pertama saat mulai masuk dan menuruni tebing itu. Di bagian bawah di antara pohon-pohon rimbun itu, tampak seperti hamparan daun layaknya karpet hijau yang tak berujung dengan dasar empuk.
Udaranya dingin, bau yang menenangkan hati seperti sedang masuk ke ruang meditasi alam.
Begitu kaki melangkah menginjak lantai hutan, dunia seolah berubah. Aroma beragam pohon dan tanah basah bercampur dengan semerbak dedaunan yang membusuk alami.
Tak hanya itu, sesekali cahaya matahari menembus celah dedaunan, menari di udara seperti serpihan emas.
Bahkan sesekali terdengar suara Elang dan Siamang bersahutan di puncak pohon Jelutung Melayu, suara itu menjadi irama penyambut dan mengantar siapa pun yang datang dan pergi dengan niat baik.
"Kalau beruntung, kadang terdengar juga suara burung elang. Saat makanan habis, mereka akan berpindah ke Imbo Salak atau Imbo Baleghiang dan nantinya kembali lagi," tutur Nasrullah sambil sesekali menyingkap ranting yang menutupi jalan setapak di hutan adat itu.
Siang itu, Nasrullah langsung menjadi pemandu menyusuri hutan yang juga menyimpan ribuan rahasia dan cerita turun-temurun. Salah satu rahasia itu adalah Apotek Alam.
Apotek Alam
Hutan Imbo Tanah Baguo di Kelurahan Langgam ternyata bukan hanya rumah bagi pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, tetapi juga menjadi lumbung berbagai tanaman obat tradisional layaknya apotek hijau alami di tengah desa.
"Bagi masyarakat Langgam, Imbo Tanah Baguo bukan sekadar hutan adat atau ulayat. Ia juga apotek alam tempat tumbuh lebih dari ribuan jenis tanaman obat," kata Nasrullah
Ada daun sialang, getah karet hutan hingga pasak bumi atau Akar Mato Ali yang dipercaya untuk mengobati banyak penyakit.
"Kalau anak demam, kami ambil daun sialang. Kalau luka pakai getah karet hutan. Ada juga pohon pasak bumi untuk obat kuat. Jika namanya disebut akan sulit mencabutnya," tutur Nasrullah.
Tak hanya itu, beragam tumbuhan berkhasiat lainnya juga telah lama dimanfaatkan masyarakat. Ada kayu sundak langit yang juga digunakan sebagai obat penurun panas. Ada juga akar kayu besi dikenal sebagai ramuan untuk menjaga stamina dan vitalitas pria. Daun setunduk bersama Sitawar Sidingin yang kerap dijadikan obat "keteguran" dan penurun demam.
Tak ketinggalan, akar kayu gading berkhasiat untuk meredakan sakit perut dan diare, sedangkan akar kayu todong dipercaya mampu menurunkan kadar kolesterol secara alami.
"Biasanya, kalau akar-akar dari tanaman ini dibersihkan, direbus dan airnya diminum rutin akan berkhasiat untuk obat diabetes," ungkap Nasrullah.
Nasrullah menjelaskan bagi masyarakat Langgam, hutan ini bukan sekadar ruang hijau, tetapi juga warisan pengetahuan leluhur tentang bagaimana alam menyediakan penyembuh bagi setiap penyakit.
Lebih lanjut nama ‘Tanah Baguo’ sendiri berarti tanah yang membawa berkah. Di tempat ini masyarakat mengambil secukupnya, lalu mengembalikan sisanya agar hutan tetap tumbuh.
Namun, hutan ini bukan hanya sumber obat. Ia juga rumah bagi keyakinan lama yang masih dipegang teguh. Di jantung hutan, tersembunyi sebuah gua tua yang jarang terlihat oleh mata biasa.
Konon, gua itu tempat seorang petapa bertapa yang juga menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan alam.
"Tak semua orang bisa menemukannya. Kalau hatinya kotor, dia akan berputar-putar tanpa arah dalam hutan. Tapi kalau niatnya baik, hutan sendiri yang akan menuntun jalan," jelas Nasrullah.
Cerita mistis ini bukan sekadar legenda. Bagi warga Langgam, kisah gua dan petapa adalah simbol penghormatan terhadap alam pengingat bahwa hutan bukan sekadar kumpulan pohon, tapi ruang hidup yang memiliki roh dan jiwa.
Karena itu, setiap kali hendak mengambil sesuatu dari hutan, warga selalu mengucap doa izin.
"Minta izin dulu. Kalau tidak, bisa-bisa kena sial tersesat, kesurupan atau sakit tanpa sebab." ujarnya.
Dengan segala kearifan lokal itu, kekhawatiran pun muncul. Banyak pihak takut Imbo Tanah Baguo ikut tergusur oleh tanaman sawit.
Namun, berkat kesepakatan antara ninik mamak, pemerintah desa, dan tokoh agama hutan adat ini justru kini semakin kuat bersama Earthworm Foundation (EF) - Yayasan Hutan Tropis.
Di Kelurahan Langgam, nama Earthworm terdengar asing di telinga masyarakat.
"Warga Langgam lebih suka menyebut kami Cacing Tanah. Tetapi sebutan itu penuh makna. Cacing itu bekerja diam-diam menyuburkan tanah dari bawah," kata Social Officer Earthworm Foundation, Ozi Sukma.
Lebih lanjut, pria kelahiran Sawahlunto Sumatera Barat itu menjelaskan bahwa ia dan tim pertama kali datang ke Langgam pada November 2024 melalui Rencana Lanskap untuk Pengelolaan Berkelanjutan Participatory Land Use Planning (PLUP) atau perencanaan penggunaan lahan secara partisipatif bersama berbagai pihak.
Meski sempat ditolak masyarakat, tak sampai setahun, Kelurahan Langgam akhirnya sepakat menandatangani perjanjian kerja sama dengan Yayasan Hutan Tropis sebagai organisasi perwakilan EF di Indonesia.
"Dengan menggabungkan perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan (lanskap), reforestasi, agroforestri, dan upaya ketahanan masyarakat, kami tidak hanya melestarikan alam kami juga mengamankan mata pencaharian masyarakat dan di Langgam kami tanam cabai rawit besar," ujarnya.
Ozi yang secara langsung mewakili EF di Kelurahan Langgam mengaku menyadari bahwa sawit dan karet penting untuk ekonomi, tapi hutan jauh lebih penting untuk hidup dan masa depan.
Sehingga, selain menjaga hutan, sekarang EF juga membantu sarana dan prasarana untuk tanaman produktif berupa cabai di lahan sekitar hutan bersama warga dan kelompok tani.
"Dapat uang, tapi hutan tetap utuh," jelasnya.
Ozi menceritakan bahwa awalnya banyak masyarakat dan juga para elit di pemerintahan kelurahan yang mengira ia dan tim hanyalah LSM abal-abal.
Itu menjadi ujian pertama bagaimana pihaknya bisa menjelaskan bahwa ia datang bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan membawa misi memperbaiki ekosistem lingkungan dan sosial. Seiring waktu, perjalanan di Langgam yang kini sudah berjalan beberapa bula mulai menunjukkan hasil.
Perubahan paling besar terlihat dari cara pandang masyarakat terhadap hutan. Dulu, hutan dianggap sebagai lahan yang harus digarap. Sekarang, masyarakat mulai melihat hutan sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan.
"Kami menemukan kembali nilai-nilai lama yang sempat tenggelam. Di Langgam, hutan bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga ruang spiritual ada tanaman obat, ada kepercayaan terhadap penjaga kampung, dan ada makna magis yang menyatu dalam kehidupan adat," terangnya.
"Kami menyebut proses ini sebagai membangkit batang tarandam (menghidupkan kembali sesuatu yang pernah ada), tapi kini kami kemas dengan pendekatan baru yang lebih kontekstual dan semoga nantinya menjadi lokasi ekowisata yang produktif," tambah Ozi.
Ozi juga menjelaskan, hal menarik lainnya banyak datuk-datuk atau tokoh adat yang bahkan sudah tidak terlalu mengenal jenis-jenis tanaman obat. Itu menjadi tantangan baru bagi EF untuk berkomitmen menjadi garda terdepan memperkenalkan kembali tanaman obat kepada generasi muda, agar pengetahuan ini tidak hilang ditelan waktu.
"Ke depan, kami juga tengah menyiapkan dua langkah besar. Pertama, mengembangkan program perhutanan sosial, baik di kawasan Hutan Imbo Tanah Baguo maupun di sekitarnya agar masyarakat memiliki hak akses legal terhadap sumber daya alam di wilayah mereka," jelasnya.
Ozi juga menjelaskan pihaknya berencana melakukan identifikasi tanaman secara detail mencatat jenis, kegunaan, serta cara pengolahan, apakah direbus, dikonsumsi langsung, atau diolah dengan cara lain.
Dari hasil identifikasi itu, pihaknya akan melihat mana tanaman yang langka dan kritis, lalu mencoba mengembangbiakkannya kembali. Selain tanaman obat, kami juga ingin memperkenalkan inovasi penanaman buah-buahan lokal seperti jengkol, petai, dan durian.
Tujuannya agar hutan tidak hanya lestari, tapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Dalam jangka panjang, EF ingin mengembangkan ekowisata berbasis komunitas tentu semua dilakukan atas dasar persetujuan bersama.
Hubungan EF dengan kelompok tani dan masyarakat bersifat setara. EF tidak datang sebagai pihak yang mengatur, melainkan sebagai mitra yang mendorong mereka berdaya.
"Kami berharap, ketika suatu saat kami sudah tidak lagi mendampingi, kelompok-kelompok ini bisa berjalan mandiri," ungkap pria yang saat ini juga bertugas mendampingi 11 desa lainnya di Riau.
"Intinya, kami ingin menunjukkan bahwa pelestarian lingkungan bisa berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat. Dari Langgam, kami belajar bahwa menjaga hutan bukan hanya soal menanam pohon, tapi juga menumbuhkan kembali kesadaran kolektif bahwa manusia dan alam hidup dalam satu kesatuan," pungkasnya.
Bertanam Cabai Rawit
Tak jauh dari Imbo Tanah Baguo, sekitar 5 menit perjalanan berdiri gagah sebuah bangunan yang dikelilingan berbagi tanaman produktif dan juga ladang sawit yang luas. Di samping bangunan itu berdiri plang bertuliskan Lokasi Test Farm Budidaya Cabai Rawit Kelompok Tani Barokah.
Tak jauh dari sana, seorang pria berpostur tegap dengan baju kaos polos merah hitam berjalan sambil senyum menghampiri rombongan awak media.
Ia adalah Noor Kholis Ketua Kelompok Barokah. Senyumnya terlihat lepas.
"Senang bisa mampir Pak, silahkan langsung jalan-jalan ke kebun kami," katanya pelan.
Mengawali perbincangan dengan awak media, Noor Kholis mengatakan bahwa budidaya cabai sangat menyenangkan karena gampang dan bisa penen hampir setiap hari.
"Kalau di Langgam cabai rawit besar seperti ini paling populer. Biasanya digulai dan digoreng,” kata pria berusia 33 tahun itu.
Lebih lanjut, di antara kebun cabai yang sudah menguning itu Noor Kholis bercerita bahwa untuk pemasarannya cabai itu sangatlah murah.
"Kita tinggal foto yang promosikan ke grup WhatsApp nanti istri, warga akan memesan dan kita akan antarkan langsung ke rumahnya," ungkap pria yang akrab disapa Kholis itu.
Tak hanya itu, Kholis yang juga memiliki lahan sawit mengaku lebih menyenangkan mengurus cabai karena bisa panen satu kali dua hari dan hasilnya juga melimpah.
"Sejak dibantu EF, kami banyak mendapat ilmu dan peralatan penunjang. Terbaru kami menambah dua hektare lahan lagi khusus untuk bertanam cabai dan saat ini sudah tumbuh dengan baik," jelasnya.
"Nanti, kalau sawit saya sudah panen, Saya berencana mengubah lahan itu untuk bertanam cabai," jelasnya.
Di tempat yang sama, istri Noor Kholis bernama Amira (30) mengaku sangat mendukung perjuangan sang suami. Tak jarang ia ikut memanen dan menjual cabai itu.
"Dari segi ekonomi cabai jauh lebih menjanjikan. Kami bisa mendapat pemasukan tambahan hampir tiap minggu," ungkapnya.
“Ini sangat layak dicontoh karena kini kami tidak perlu terlalu bergantung dengan tanaman sawit yang masa panennya cukup lama," sambung Amira.
Terpisah, Field Manager EarthWorm Foundation, Rozikin yang akrab disapa Roy mengatakan bahwa pemilihan budidaya cabai rawit untuk Kelurahan Langgam berangkat dari kisah sukses Kelompok Tani di Desa Muara Bungkal, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak.
"Di sana, petani dalam volume 1 hektare lahan pernah panen sekitar 7 ton dengan pendapatan bersih sekitar Rp350 juta dan jumlah ini bisa lebih banyak lagi. Semangat sukses ini yang kita bawa ke Kelurahan Langgam ini," pungkasnya.
Kini, Kelurahan Langgam layak menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat lokal dapat berperan aktif dalam menjaga ekosistem sekaligus membangun kemandirian ekonomi.
Melalui pendampingan Earthworm Foundation-Yayasan Hutan Tropis, masyarakat mulai berhasil menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan kelestarian lingkungan membuktikan bahwa: menjaga alam berarti menjaga masa depan.
Kontributor : Rahmat Zikri