Pesawat Garuda Indonesia dengan corak merah putih pada masa itu menemani perjalanan awal Agar sampai ke Jerman. Ia yang sama sekali belum pernah menaiki moda transportasi udara itu pun harap-harap cemas.
Bahkan ada kisah lucu dan selalu terkenang yang dialaminya semasa berangkat dari bandara Pekanbaru untuk transit di Singapura.
"Berangkatnya saya sendirian, modal nekat saja," ujarnya.
Setelah mendapatkan tiket pesawat, Agar pun bergegas berangkat pagi-pagi dari Pekanbaru. Pada saat itu, di dalam pesawat terdapat karpet permadani yang membentang jalan. Lantaran belum pernah naik pesawat, ia pun malah membuka sepatu.
"Waktu naik pesawat itu ada permadani, saya gak tau, jadi mau buka sepatu. Pas mau nunduk terus datang pramugarinya menegur saya," katanya.
Kenangan perjalanan tersebut masih terlintas jelas di benaknya. Sebab, dahulu ia sama sekali belum mengerti akan hal itu.
Dalam perjalanan ke Jerman, Agar banyak melakukan transit pesawat di luar negeri. Pertama mulai dari bandara di Pekanbaru ke Singapura. Di situ, Agar berpindah pesawat untuk menuju ke New Delhi India, kemudian lanjut lagi ke Moscow Rusia dan tujuan akhirnya di Kopenhagen Denmark.
Butuh waktu seharian untuk sampai ke eropa. Dari bandara Kopenhagen di Denmark, Agar rupanya sudah ditunggu lebih dulu oleh Hans dan mereka pun melanjutkan perjalanan darat menggunakan kereta api.
"Masa itu saya baru pertama kali naik pesawat dan kereta api. Semuanya serba baru lah. Pesawat yang dari Singapura itu besar, lebih besar dari rumah perasaan saya. Berkat pertolongan Allah, saya tak ada merasa takut, cuma was-was pasti ada," ungkapnya.
Menetap di Jerman dan melanjutkan studi
Sampai di Jerman, Agar yang pada masa itu masih mengenyam bangku SMA di Pekanbaru pun harus pulang lagi ke negerinya. Selama dua bulan, ia kembali ke Pekanbaru dan menamatkan sekolah.
Lalu pada 1983, setamat SMA, ia pun berangkat lagi ke Jerman untuk waktu yang lama. Kisah panjang 37 tahun di negara Eropa dilaluinya penuh suka dan duka mulai saat itu.
Di sana, lantaran sistem pendidikan yang berbeda, masa itu Agar kembali bersekolah setara jenjang SMA kurang lebih satu setengah tahun. Lepas itu, barulah ia masuk ke jenjang pendidikan sekolah tinggi.
Selama berkuliah, ia juga banyak berjumpa dengan warga negara Indonesia yang menetap di Jerman. Di sana, kehidupannya juga turut difasilitasi oleh Hans Kalipke; ilmuwan Jerman tadi.
Sepuluh tahun berselang, Hans Kalipke mengangkat Agar menjadi anaknya. Sejak saat itu, nama belakang sang ilmuwan itu tersemat di nama belakang Agar; Mohamad Agar Kalipke.
Hidup di Jerman ternyata memberikan pengalaman berharga bagi cendikiawan Sakai ini.