SuaraRiau.id - Direktur Yayasan Ekosistem Zamrud (YEZ) Siak, Ahmad Said menilai PT Uniseraya mengangkangi Peraturan Bupati Siak No 22 tahun 2018 tentang Siak Kabupaten Hijau.
Ahmad Said mengungkapkan bahwa dalam perbup itu, secara jelas disebutkan bahwa sasaran Siak Kabupaten Hijau salah satunya adalah menekan tingkat kerusakan sumber daya alam khususnya gambut dan DAS Siak.
“Hasil analisis peta kedalaman gambut yang kami bersama koalisi Sedagho Siak memperlihatkan bahwa areal HGU (hak guna usaha) PT Uniseraya berada dalam kawasan lindung gambut dengan kedalaman di atas 3 meter,” terang Ahmad Said.
Menurut Ahmad Said, PT Uniseraya mendapatkan izin usaha perkebunan dari Bupati Siak pada tahun 2006 seluas 9.300 hektare untuk usaha perkebunan sagu.
Pada 2021, Dinas Pertanian dan Perkebunan Siak mengeluarkan rekomendasi perubahan jenis tanaman dari sagu menjadi sawit dengan alasan komoditas sagu tidak produktif.
Untuk keperluan tersebut, saat ini PT Uniseraya sedang mengurus analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sebagai syarat memperoleh izin perubahan jenis tanaman.
Kami menjumpai di lapangan bahwa PT Uniseraya tidak pernah menanam sagu, justru saat ini di lahan tersebut sudah ditanami sawit. Padahal belum ada izin perubahan komoditas,” ucap Ahmad Said.
Pada saat uji publik amdal, keberadaan sawit dalam areal tersebut dikonfirmasi oleh YEZ kepada pihak Uniseraya. Awalnya, perwakilan Uniseraya tidak mengakui bahwa lahan HGU mereka telah ditanami sawit. Namun, setelah didesak dengan memperlihatkan bukti Citra Satelit, Uniseraya tetap tidak mengakui penanaman sawit tersebut.
Namun, pada pembahasan amdal kedua yang dilaksankan di Kabupaten Siak, pihak Uniseraya menerangkan di dalam dokumen amdal melalui surat dari PT Uniseraya Nomor: 007/US/LG – III /2021 menyampaikan bahwa telah dilakukan kegiatan penanaman kelapa sawit pada HGU seluas 326 hektare.
Tentu keterangan ini tidak sesuai dengan keterangan awal pada rapat uji publik yang dilaksanakan di Kantor Camat Sungai Apit.
“Jelas sekali ada upaya pembohongan yang dilakukan Uniseraya saat uji publik amdal,” ungkap Ahmad Said.
Di dalam dokumen tidak sedikitpun menyinggung soal keberadaan sawit, sehingga amdal yang disusun tidak relevan dengan kondisi di lapangan.
“Kami menilai, kawasan yang dijadikan kebun sawit oleh Uniseraya masih merupakan tutupan hutan sekunder, sehingga perlu dipertahankan mengingat kawasan tersebut juga merupakan gambut dalam,“ ucap Ahmad Said.
Hal ini tidak sejalan dengan kebijakan Siak Hijau yang selama ini digadang-gadang oleh Pemkab Siak.
Dilihat dari sejarah dokumen perizinan yang dimiliki PT Uniseraya pada 2006 yang terlampir di dalam dokumen amdal, terlihat beberapa kejanggalan yang sangat mencolok diantaranya, pada 4 Juni 2005, SK Bupati No. 13/2005 pemberian izin lokasi PT Uniseraya.
Selanjutnya, pada 2 Juni 2006, Kepmenhut SK 199/Menhut II/2006 tentang Pelepasan Kawasan HPK 11.517,30 Ha untuk usaha budidaya PT Uniseraya, dalam memanfaatkan kawasan agar melibatkan masyarakat sekitar hutan.
“Apakah ada mayarakat atau kelompok tani yang dilibatkan, dibuktikan dengan dokumen kesepakatan antara pihak perusahaan dan masyarakat sekitar,” tanya Ahmad Said.
Lalu pada 21 Juli 2006, SK Bupati 148/2006 Kelayakan Lingkungan Rencana Pembangunan Sagu seluas 9.300 Ha, di Kampung Penyengat. Artinya dinyatakan layak ditinjau dari aspek lingkungan hidup berdasarkan hasil rapat Komisi Amdal di Bapeda Siak pada 26 Juni 2006 tentang amdla PT Uniseraya disetujui 23 hari sejak pelepasan kawasan amdalnya disetujuI.
"Begitu cepat pembahasan amdal dilakukan oleh pemerintah, tentu hal ini kami nilai sangat tidak wajar. Amdal perkebunan dikerjakan pembahasannya dengan waktu yang cukup singkat,” sesal Ahmad Said.
Sementara pada 8 September 2006, SK Bupati Siak tentang Pemberian IUP PT Uniseraya seluas 9.300 Ha untuk usaha perkebunan sagu pola pengembangan kemitraan dengan masyarakat.
"Kemitraan seperti apa yang di buat selama membangun perkebunan sagu di Kampung Penyengat dan Kampung Teluk Lanus," tanya Dia lagi.
Sebab, kata Ahmad Sahid lebih jauh, di dokumen amdal yang disusun oleh pihak perusaan tidak ditemukaan dokumen atau kesepakatan bentuk kerja sama antara perusahaan dan masyarakat.
Lebih-lebih lagi kami menemukan kejanggalan pada bunyi Diktum ke-2 angka 1, di mana ada ketidak cocokan pada isi IUP yang dimaksud pada Keputusan Bupati Nomor: 216/HK/KPTS/2006.
Adapun bunyi diktum ke-2 angka 1, melaksanakan pembanguna perkebunan kelapa sawit, sedangkan IUP yang diberikan kepada PT Uniseraya adalah izin usaha perkebunan sagu. Tentu hal ini menambah kejanggalan terkait pemberian izin oleh Bupati Siak yang ditandatangani oleh Arwin AS SH waktu itu.
Pihak perusahaan tidak memperlihat dokumen amdal sebelumnya. Pihak perusahaan tidak ada melaporkan dalam dokumen amdal perkebunan sagu berapa luasan yang ditanam, berapa jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan semenjak dibangun perkebunan sagu tersebut.
“PT Uniseraya adalah perusahan yang tidak bisa bertanggung jawab atas izin yang mereka miliki,” terang Ahmad Said.
Hal itu bisa dilihat dari dokumen penilaian usaha perkebuann (PUP 2018) yang mendapatkan nilai D (buruk).
Dengan demikian, tambah Ahmad Sahid, sangat disayangkan pemerintah memberikan izin baru atau izin perubahan komoditi tanaman sagu menjadi tanaman sawit.
“Selain itu, masyarakat di dua kampung yang bersentuhan langsung dengan areal Uniseraya sudah lama menolak keberadaan HGU tersebut," ucap Ahmad Said.
Keberadaan Uniseraya dianggap memberikan dampak negatif terhadap kampung dan masyarakatnya.
Baru-baru ini terjadi konflik manusia dengan harimau yang menewaskan satu orang pekerja Uniseraya.
Konflik dipicu semakin sempitnya ruang hidup satwa akibat aktivitas perusahaan serta konflik perusahaan dan masyarakat yang saling klaim wilayah untuk bertahan hidup.
Yayasan Ekosistem Zamrud meminta Bupati Siak, satu, memberikan sanksi kepada PT Uniseraya karna telah melakukan pelanggaran atas izin yang diberikan dengan menanam sawit.
Kedua, mencabut izin PT Uniseraya karena tidak menjalankan kewajiban sebagai pemegang IUP sejak 2006.
Ketiga, memberikan hak kelola kepada masyarakat dengan skema TORA dan yang keempat, pemerintah perlu untuk cermat dan berhati hati dalam memberikan izin.
Sementara itu, Humas PT Uniseraya saat dihubungi untuk menanyakan alihfungsi lahan, telepon tidak diangkat.
Bahkan sudah meninggalkan pesan lewat WhatsApp untuk konfirmasi, namun hanya dibaca (centang biru).
PT Uniseraya dan Kampung Adat Suku Anak Rawa
Ketua Kerapatan Adat Kampung Adat Asli Anak Rawa Penyengat, Alid (34) dengan tegas menolak adanya dokumen amdal yang baru untuk alihfungsi yang dilakukan oleh PT Uniseraya.
Dikatakan Alid, sebisanya ia berjuang agar tanah adat yang berada di wilayahnya dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat adat.
"Kita tegas menolak, sampai saat ini kita meminta PT Uniseraya tidak mengelola apapun di wilayah hutan adat suku anak rawa," kata Alid.
Selama ini, tambah Alid, tidak ada masyarakat yang terlibat secara langsung soal PT Uniseraya ini.
Bahkan, sampai saat ini masyarakat tidak mengetahui batas pengelolaan dari PT Uniseraya tersebut.
"Kami berharap pemerintah tegas akan persoalan ini. Jangan hanya memberi izin tanpa melibatkan masyarakat," jelasnya.
Alid tak ingin, ada konflik dikemudian hari jika pemerintah Kabupaten Siak memaksa mengeluarkan izin.
"Jangan nanti ada konflik baru ribut-ribut, bijaklah dalam membuat kebijakan. Jangan nanti masyarakat yang disalahkan," tegasnya.
Alid beharap dengan adanya tanah adat masyarakat bisa terbantu ekonomi, sejahtera kehidupannya.
"Ini sudah kita ajukan, kita ingin masyarakat adat benar-benar sejahtera," tutur Alid.
Kontributor : Alfat Handri