Upaya Sakai Jaga Rempah Tetap Berlimpah di Tengah Hutan Adat Makin 'Terjajah'

Masyarakat suku Sakai, masih memanfaatkan hutan sebagai sumber harapan.

Eko Faizin
Rabu, 15 September 2021 | 08:15 WIB
Upaya Sakai Jaga Rempah Tetap Berlimpah di Tengah Hutan Adat Makin 'Terjajah'
Peringatan jangan buang sampah sembarangan di hutan Adat suku Sakai Bathin Sobanga. [Suara.com/Panji Ahmad Syuhada]

Kelompok masyarakat adat Sakai sendiri, kata Agar, juga ada kaitan eratnya dengan suku Pagaruyung dari ranah Minang hingga suku Melayu. Sebab, dari segi bahasa dominan memiliki kesamaan, meskipun kesamaan itu tidak keseluruhan.

"Memang saya belum meneliti ini, tapi Sakai dan Minang itu dalam bahasanya ada kesamaan, apalagi dengan Melayu. Sekitar 70 persen itu sama," ungkap magister sastra dan bahasa ini.

Dari segi bahasa tersebut, Agar mencontohkan bahwa yang memiliki kesamaan seperti; apo, yang artinya apa. Suku Sakai, Pagaruyung dan Melayu juga menggunakan kosa-kata itu.

"Yang beda itu misal kolo yang artinya sebentar lagi dan omput atau umur yang kecil. Ini cuma ada di Sakai," tuturnya.

Dalam tradisi pun demikian, ada hal-hal yang kaitannya erat dengan suku Pagaruyung tersebut. Namun itu juga tidak seutuhnya.

Agar Kalipke berharap, tradisi dan hutan yang tersisa di kawasan perbathinan Sakai ini tidak lagi terkikis. Menurutnya perlu kerjasama semua elemen masyarakat, termasuk pemerintah pusat hingga tingkat RW dan RT.

"Kalau ada hutan yang sedikit ini tolong dipertahankan. Atau mungkin (ada hutan) di wilayah operasi Pertamina, jangan dibuat lokasi untuk di bor. Kita mohon, itu lagi yang tinggal untuk Sakai dan Riau," pintanya.

Di samping itu, Sakai juga menolak dicap tertinggal dan terasing, sebab seperti Agar Kalipke sendiri, ia merupakan orang Sakai yang bahkan pernah menjadi dosen di Universitas Hamburg. Keberangkatannya dimulai saat ia dibawa oleh seorang ilmuwan asal Jerman, Hans Kalipke pada 1982.

Saat itu, Hans melakukan penelitian mendalam tentang masyarakat adat suku Sakai di Provinsi Riau.

"Jadi saya harap ke depannya, semua elemen itu menyokong, baik untuk budaya, tradisi, hutan, rempah, alam dan segalanya. Jawa, Batak dan semua suku mari kita saling mendukung, karena ini budaya Nusantara. Ketahanan budaya kita pertahankan sama-sama, tanpa kerja sama, kalau sendiri-sendiri itu sulit," tuturnya.

Di sisi lain, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, telah melakukan kegiatan verifikasi keberadaan masyarakat adat Suku Sakai di Bathin Sobanga, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, pada Minggu 11 April 2021, lalu.

Hal ini berangkat dari usulan warga Sakai yang menginginkan pengakuan hutan adat awal 2021.

Secara administrasi, wilayah adat Suku Sakai yang berada di perbathinan Sobanga ini berada di dua wilayah yakni Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Rokan Hilir. Lokasi ini merupakan hutan terakhir yang tersisa, yang diusulkan pengakuannya menjadi hutan adat oleh negara.

Dalam kegiatan tersebut Pemerintah Provinsi Riau yang dikoordinasikan oleh Kadis LHK Riau, Maamun Murad, bekerjasama dengan berbagai pihak antara lain LAM Riau, Dinas PUTR Rokan Hilir, Dinas PUTR Bengkalis, Universitas Lancang Kuning, Tim Kerja Percepatan Pengakuan Hutan Adat (TKP2HA), pemerhati dan praktisi lingkungan lingkungan.

"Pengakuan subjek masyarakat adat ini, merupakan salah satu upaya Pemerintah Provinsi Riau dalam mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia dalam upaya penetapan objek perhutanan sosial dalam hal ini hutan adat. Selain itu, upaya ini juga bertujuan untuk melestarikan budaya dan pengetahuan lokal masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alamnya secara lestari," kata Murad, saat itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini