SuaraRiau.id - Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) beberapa hari yang lalu menyinggung soal adab dalam mengkritik pemerintah.
Pernyataannya tersebut kemudian mendapat sorotan sejumlah pihak, salah satu dari politisi Partai Demokrat, Cipta Panca Laksana.
Panca pun menyinggung terkait Moeldoko yang dinilainya kontradiktif dengan perbuatannya sendiri. Seperti yang diketahui, Moeldoko sempat terlibat dalam polemik membuat kongres luar biasa dalam partai berlambang mercy itu.
“Halah bacot. Begal partai orang aja nga ada tata kramanya, kok nyarankan kritik pakai tata krama,” kata dia di Twitter Panca66 pada Kamis (19/8/2021).
Untuk diketahui sebelumnya, Moeldoko sempat mengatakan bahwa kritik merupakan hal lumrah dalam suatu pemerintahan, namun semestinya disampaikan dengan cara yang lebih beradab.
Moeldoko mengungkapkan bahwa itu sebagai respons terhadap persoalan mural mirip wajah Presiden Jokowi yang memang sempat ramai dibicarakan.
Ia juga mengingatkan bahwa Presiden adalah orangtua bangsa yang sangat perlu untuk dihormati.
“Jangan sembarangan berbicara, jangan sembarangan menyatakan sesuatu dalam bentuk kalimat atau dalam bentuk gambar,” ungkap Moeldoko pada Rabu (18/8/2021) dikutip dari Terkini.id--jaringan Suara.com.
Lebih lanjut, Moeldoko juga menyebut bahwa Presiden Jokowi sangat terbuka dan tak pernah pusing dengan kritik yang ditujukan kepadanya.
Namun, kata Moeldoko, Jokowi juga selalu mengingatkan bahwa sebagai orang Timur, Indonesia memiliki adat.
Oleh sebab itu, ia menekankan kepada semua pihak untuk mengedepankan tata krama dan ukuran-ukuran budaya dalam mengkritik.
Moeldoko juga menemukakan bahwa saat ini, kritik dengan fitnah seringkali tak bisa dibedakan pemerintah.
Apalagi, menurutnya, banyak tokoh yang justru hanya memperkeruh situasi.
“Saya sering mengatakan setelah itu minta maaf. Ini apa bangsa ini? Berbuat sesuatu, ada tindakan, minta maaf. Ini sungguh sangat tidak baik. Mestinya bangsa yang pandai adalah bangsa yang berpikir dulu sebelum bertindak sesuatu,” ujarnya.
Moeldoko pun meminta masyarakat untuk tak serta merta menganggap pemanggilan polisi terhadap orang yang membuat kritik sebagai tindakan represif.
Moeldoko kemudian berujar bahwa penangkapan ataupun pemanggilan itu bisa saja hanya sebatas untuk membina.
“Jadi jangan dijustifikasi represif dan seterusnya. Ini kan sekarang kita melihat hanya kulitnya, bukan dalamnya,” tuturnya.