SuaraRiau.id - Pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Gedung DPR Senayan pada Senin (16/8/2021) menuai kritik dari kalangan pegiat antikorupsi. Mereka mempertanyakan komitmen Jokowi pada masa kepemimpinan keduanya dalam pemberantasan rasuah di Indonesia.
Keresahan itu diungkapkan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadana merespons isi pidato kenegaraan Presiden Jokowi. Dia mengemukakan, dalam pidato tersebut pemberantasan korupsi tidak menjadi isu krusial.
"Dari sekian banyak halaman pidato kenegaraan itu, terdapat satu isu krusial, yakni hilangnya pembahasan terkait pemberantasan korupsi," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangannya, Selasa (17/8/2021).
Lantaran itu, ICW menilai situasi terkini dalam pemberantasan korupsi semakin mengkhawatirkan.
Baca Juga:ICW Soroti Pidato Kenegaraan Jokowi yang Tak Sekalipun Singgung Pemberantasan Korupsi
"Tentu ini mengindikasikan bahwa pemerintah kian mengesampingkan komitmennya untuk memerangi kejahatan korupsi," ucap Kurnia
Dia pun merujuk pada data Indeks Persepsi Korupsi Transparency International. Dari dua tahun terakhir sejak 2019, peringkat dan IPK Indonesia justru semakin memburuk. Pada tahun 2019 dari angka 40, menjadi 37 di Tahun 2020. Data tersebut mengilustrasikan secara gamblang, kekeliruan pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi.
"Alih-alih memperkuat, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah menjadi salah satu dalang di balik melemahnya agenda pemberantasan korupsi," kata Kurnia
Bahkan dalam kurun waktu satu tahun terakhir, masyarakat bisa dengan mudah mengidentifikasi serangkaian kebijakan pemerintah yang bertolak belakang dengan pemberantasan korupsi.
"Tak hanya itu, pemerintah juga bisa dipandang gagal dalam menangani pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama satu setengah tahun ke belakang," kata Kurnia
Baca Juga:Dugaan Korupsi Pengelolaan Dana Bantuan, Kadis Kebudayaan Denpasar Dicecar 62 Pertanyaan
ICW kemudian merumuskan ada empat hal dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo yang menjadi indikasi persoalan pemberantasan korupsi yang makin mengkhawatirkan.
Pertama, pemerintah minim dalam menuntaskan tunggakan legislasi yang mendukung penguatan pemberantasan korupsi. Mulai dari rancangan undang-undang perampasan aset, rancangan undang-undang pembatasan transaksi uang kartal, hingga revisi undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi terbengkalai begitu saja.
"Tidak hanya itu, Revisi Undang-Undang KPK yang dianggap pemerintah akan memperkuat lembaga antirasuah juga terbukti semakin mendegradasi performa KPK," ujar Kurnia
Kedua, pemerintah abai dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum. Padahal secara hierarki administrasi, presiden menjadi atasan dari seluruh aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun KPK.
"Namun, sayangnya, presiden seringkali absen dalam merespon sejumlah permasalahan yang terjadi. Misalnya, penanganan perkara yang penuh dengan konflik kepentingan di Kejaksaan Agung, menurunnya kinerja penindakan perkara korupsi di kepolisian, dan serangkaian kontroversi kebijakan komisioner KPK," ujar Kurnia
Ketiga, pemerintah gagal dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Fenomena tersebut terlihat jelas dalam isu rangkap jabatan yang makin marak terjadi belakangan waktu terakhir.
Jika merujuk pada data Ombudsman RI di tahun 2019, ada 397 Komisaris BUMN yang terindikasi rangkap jabatan. Padahal, UU Pelayanan Publik secara jelas telah melarang praktik tersebut.
"Hal ini diperparah dengan pengangkatan mantan terpidana kasus korupsi pada jajaran komisaris anak perusahaan BUMN yaitu, Emir Moeis," kata Kurnia
Terakhir, pemerintah dianggap gagal dalam mengelola penanganan dan pemulihan Pandemi Covid-19. Kemudian, sempat terjadi wacana akan adanya vaksin berbayar. Selanjutnya, persoalan konflik kepentingan pejabat publik terkait obat Ivermectin, dan terakhir menyangkut kebijakan penetapan tarif pemeriksaan PCR yang sepatutnya ditinjau ulang termasuk aksesnya bagi masyarakat dengan kelas ekonomi lemah.
"Meskipun mulai ada perbaikan kondisi seperti penurunan bed occupancy ratio (BOR) pada fasilitas kesehatan, tetapi Indonesia pernah mencatat angka kematian harian tertinggi di dunia akibat Covid-19, yang mencapai 1.449 kasus pada 22 Juli 2021," katanya.