SuaraRiau.id - Lampu colok merupakan salah satu tradisi unik saat akhir Ramadhan di beberapa walayah di Riau, termasuk Kabupaten Siak.
Tidak ada literatur rinci yang menjelaskan tradisi lampu colok tersebut.
Namun bagi warga Siak, mereka mengenal festival lampu colok sebagai bentuk tradisi di penghujung Ramadhan. Tradisi meriah yang harus dijaga sampai kapanpun.
Tradisi dengan memanfaatkan susunan lampu yang terbuat dari botol bekas yang diisi minyak yang beragam bentuk. Mulai dari Asma Allah hingga bentuk masjid yang indah.
Lampu colok sendiri merupakan susunan ratusan hingga ribuan lampu semprong atau lampu minyak yang terbuat dari kaleng atau botol bekas.
Lampu itu disusun pada menara yang terbuat dari kayu. Tinggi dan lebarnya mencapai puluhan meter.
Lampu colok biasanya mulai ditampilkan pada malam 27 Ramadhan hingga malam takbiran Idul Fitri.
Pemuda Karang Taruna Kampung Sabak Permai, Kecamatan Sabak Auh salah satu yang selalu menyambut lampu colok tersebut.
Mereka secara sukarela bergotong royong mendirikan menara selama bulan Ramadhan. Setiap malam usai salat Tarawih, mereka bekerja keras mendirikan menara, membuat ribuan lampu semprong dan membentuk pola.
Iswanto Ketua Karang Taruna Sabak Permai, pemuda desa yang memimpin rekan-rekannya mendirikan lampu colok itu kepada SuaraRiau.id mengatakan dirinya dan belasan pemuda bahkan telah bekerja sebelum Ramadan tiba.
"Sejak sebelum Ramadan kami semua bergotong royong mendirikan menara untuk lampu colok ini," kata Iswanto.
Tahun ini, katanya, mereka membuat desain lampu colok hanya sederhana saja karena situasi pandemi covid-19.
Dijelaskannya, Ia bersama rekan-rekannya juga tak ingin membuat kerumunan yang nantinya bisa memicu lonjakan penyebaran Covid-19.
Untuk membuat lampu colok yang megah dibutuhkan ribuan lampu lampu semprong dengan pola yang telah ditentukan.
"Ini gambar masjid. Bentuk bangunan masjid lengkap," ujarnya.
Membuat menara lampu colok dengan pola seperti masjid yang tengah dilakukan mereka bukan sebuah pekerjaan mudah. Selain itu, dana yang dibutuhkan juga tidak sedikit.
Untuk pembiayaan, mereka mengandalkan iuran dari masyarakat. Selain itu mereka juga berusaha mencari donatur dari pengusaha secara mandiri.
"Desa sangat support atas kegiatan kami ini," jelasnya.
Iswanto mengaku tidak ada paksaan dalam mendirikan lampu colok tersebut. Menurut dia, membuat lampu colok merupakan bentuk dari semangat pemuda setempat dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Selain itu, dia dan rekan-rekannya sepakat harus ada yang rela berkorban baik waktu dan materi untuk menjaga tradisi.
"Kalau bukan kita siapa lagi yang akan menjaga tradisi ini. Ini tradisi yang harus dijaga sampai kapanpun," kata dia.
Selain itu, dia mengatakan membuat lampu colok juga untuk menghibur para perantau yang pulang untuk merayakan hari idul Fitri di kampung halaman.
"Kita juga ingin kampung ini dikenal yang akan menjadi kebanggaan kami semua," ujarnya.
Itulah salah satu tradisi di Kabupaten Siak. Masyarakat setempat biasa menyebut lampu colok. Dahulu lampu colok banyak ditemukan di berbagai sudut kampung.
Namun belakangan tradisi ini seolah semakin meredup. Besarnya anggaran yang dibutuhkan menjadi salah satu alasan meredupnya tradisi unik tersebut.
Pemerintah seharusnya dapat lebih berperan dalam menjaga tradisi unik ini sehingga tidak tenggelam ditelan zaman.