SuaraRiau.id - Menjadi relawan medis dan menjangkau daerah krisis melintasi gugusan kepulauan di Indonesia menjadi rutinitas dokter Stephanie dalam sepuluh tahun terakhir.
Dokter muda asal Kota Pekanbaru ini memilih jalan pengabdian tersebut untuk melayani masyarakat yang dilanda krisis kesehatan di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam perjalanan pengabdiannya, ia tergabung dalam yayasan dokter peduli (DoctorSHARE). Selama itu, Stephanie banyak belajar dan melihat langsung jerit tawa masyarakat dari berbagai penjuru negeri.
Semangat Stephanie mengabdi di wilayah yang kekurangan tenaga kesehatan tersebut patut diapresiasi. Sebab jika semua dokter muda atau calon dokter bersikap serupa, akses warga terhadap kesehatan akan semakin merata.
Apalagi, sebagian wilayah Indonesia memang masih memerlukan tenaga medis yang lebih, terutama di bagian timur tanah air.
"Ini memang menjadi passion saya, jadi saya senang bisa berinteraksi, senang membantu, keliling Indonesia, membantu apa yang bisa saya bantu bagi masyarakat," kata dokter Stephanie kepada SuaraRiau.id, mengawali perbincangannya, Jumat (12/2/2021).
Dokter 29 tahun tersebut memilih jalan itu sebagai bakti amalnya untuk negeri. Meskipun terkadang banyak rintangan yang dilalui, namun dia tetap teguh pada prinsipnya; membantu orang banyak.
Pengabdian yang dijalani Stephanie juga tidak biasa, sebab pelayanan yang diberikannya tersebut menggunakan fasilitas Rumah Sakit Apung (RSA) Nusa Waluya II yang melintasi gugusan kepulauan dan berlabuh membuka pelayanan ke daerah-daerah krisis kesehatan, terutama di Indonesia bagian timur.
Mulanya, tahun 2010 menjadi titik awal dirinya bergabung menjadi relawan kemanusiaan di organisasi nirlaba besutan dokter Lie Dermawan tersebut. Saat itu, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara ini masih menjalani studi kedokteran. Hingga lulus, dia masih memfokuskan dirinya pada pengabdiannya.
Stephanie memang terkenal sebagai orang yang aktif di berbagai aktivitas kerelawanan. Termasuk juga organisasi kampus tempat ia menimba ilmu.
Awal bergabung ke yayasan dokter peduli, Stephanie bercerita bahwa ia diajak oleh seniornya di kampus tersebut. Tujuh tahun mengabdi sebagai relawan, kegigihannya dalam membantu sesama itu membuat dirinya direkrut menjadi karyawan tetap dalam organisasi kemanusiaan itu.
"Awalnya diajak senior saya, kebetulan satu kampus, katanya ayo bergabung nih banyak kegiatan sosial. Setelah itu saya rutin mengikuti, sampai 2018 direkrut jadi karyawan tetap," tuturnya.
Di sisi lain, founder yayasan dokter peduli, dokter Lie Dermawan juga merupakan salah satu dosen di Rumah Sakit Pendidikan yang bermitra dengan kampus Stephanie menimba ilmu.
Sehingga, Stephanie yang sedang menjalani masa co-assistant kedokteran juga bertemu langsung dengan dokter Lie. Dia pun mendapat kesempatan untuk mengabdi bersama para relawan lainnya dengan misi menyelamatkan penderitaan orang yang dilanda krisis kesehatan di tanah air.
Masa-masa itu, Stephanie banyak menemukan pengalaman baru. Pahit getirnya aktivitas kerelawanan dijalani, namun semangatnya yang tinggi membuat hambatan-hambatan dalam pengabdian itu sirna.
Dari aktivitasnya sebagai dokter di RS Apung, dia pun banyak berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai daerah, beragam suku, melihat budaya, mencicipi makanan khas, kemudian bisa menolong dan membantu warga yang sedang dirundung pilu.
"Bisa membantu orang lain itu jadi kebahagiaan tersendiri bagi kita," kata Stephanie.
Selama perjalanan pengabdiannya menyusuri negeri, bahkan dia juga sempat diamanahkan sebagai koordinator di RSA Nusa Waluya II sebelum dirinya memilih berhenti dari status karyawan tetap untuk melanjutkan pendidikannya.
RSA Nusa Waluya II adalah rumah sakit apung ketiga milik doctorSHARE. RSA pertama bernama RSA dr Lie Dharmawan, RSA kedua bernama Nusa Waluya I.
Nusa Waluya II adalah RSA pertama yang berada diatas kapal tongkang. Kapal itu dimodifikasi dengan diletakan beberapa kontainer sebagai ruangan rawat pasien. Sementara di lambung kapal tersebut terlihat logo doctorSHARE beserta lambang palang merah Indonesia.
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat dijalani Stephanie, sejak itulah jiwanya ditempa menjadi orang yang benar-benar peka terhadap penderitaan masyarakat di daerah krisis kesehatan.
"Saya di doctorSHARE sudah 10 tahun, dan 3 tahun terakhir diangkat jadi karyawan tetapnya. Jadi saya berpartisipasi sebagai koordinator untuk program manajer RS Apung milik yayasan dokter peduli," ungkapnya.
Sebagai relawan medis, Stephanie sudah cukup berpengalaman memberikan pelayanan langsung di berbagai daerah. Hampir semua wilayah di Indonesia pernah ditempuh. Wajah-wajah baru dan pengalaman kerelawanan didapatinya di masa mudanya ini.
Pahit getir kisah perjalanan pengabdian itu juga dilaluinya dengan suka cita.
"Kalau daerah yang sudah ditempuh cukup banyak, saya lupa persisnya. Tapi saya sudah pernah ke Aceh sampai Papua. Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, NTT, NTB, Maluku, Papua, semua sudah, tapi mungkin gak semua bagian Papua dan Maluku sudah didatangi. Kalau ditarik sih, dari Aceh sampai Papua saya sudah pernah melakukan pelayanan," ujarnya.
Saat berada di daerah terpencil, terutama di Indonesia bagian timur, Stephanie kerap kali mengalami kendala-kendala serius, utamanya yaitu soal akses dan transportasi yang sulit. Ditambah lagi jaringan telepon yang tak selamanya ada.
Kisah-kisah pilu itu dilaluinya bersama para relawan lain di daerah terpencil saat berada jauh dari ibu kota Jakarta. Namun kebersamaan dan saling melengkapi membuat mereka kuat menghadapi segala macam rintangan.
"Saya pernah gak bisa pulang ke Jakarta, karena pesawat yang harusnya berangkat rusak. Jadi di daerah terpencil itu namanya pesawat perintis, itu gak setiap hari masuk, gak ada moda transportasi lain, pesawat itu pun jadwalnya seminggu dua kali, ada juga kapal yang jadwalnya seminggu sekali," tuturnya.
Jika moda transportasi massal rusak, maka dia pun hanya bisa pasrah menunggu hingga situasi pulih. Sebab tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan untuk mencapai tempat tujuan.
Sedih lihat kesehatan di Indonesia bagian timur
Di sisi lain, Stephanie sempat terbesit memikirkan mengapa di Indonesia bagian timur masih banyak akses yang sulit dan fasilitas kesehatan yang juga belum sepadan. Menurutnya hal itu tidak seperti di Indonesia bagian barat, di kawasan Jawa dan Sumatera yang rata-rata sudah bagus.
"Indonesia timur itu dokternya masih kurang, bahkan ada faskes tak ada dokter sama sekali. Banyak yang saya lihat, bahkan ada beberapa lokasi yang ketika warga melahirkan saja sulit. Apalagi kalau sampai komplikasi persalinan, itu harus dirujuk. Nah di rujuk itu tak ada akses, ke rumah sakit mereka sampai harus sewa kapal, sampe 7 jam perjalan dan itu pun tidak setiap hari (jadwal kapal)," ujarnya lirih.
Kemudian, sulitnya akses kesehatan itu juga dibarengi dengan banyaknya ekonomi warga di daerah terpencil yang masih kurang mampu. Hal ini menjadi masalah serius yang dihadapi masyarakat di sana.
"Jadi kalau sempat dirujuk itu menjadi suatu pemikiran sendiri bagi keluarga. Karena mikir sewa kapal, belum lagi kebutuhan-kebutuhan makan dan lain-lain," tuturnya.
Dalam ingatan Stephanie, musibah gempa, tsunami dan likuefaksi di Palu, Sulawesi Tengah juga merupakan salah satu kejadian yang paling menyayat hati. Karena selama 4 bulan dia melihat langsung bagaimana traumanya masyarakat akibat bencana alam tersebut.
"Gempa tsunami palu jadi momen sendiri bagi saya, karena saya melihat sendiri sejak hari kelima pasca kejadian sampai 4 bulan di Palu, sedih melihat traumanya masyarakat, melihat bagusnya bangunan lalu rusak karena tsunami. Ada korban likuefaksi juga, rumah bener-bener terseret oleh kejadian tersebut, jadi tak ada lagi harta benda mereka. Saya dengar dan lihat langsung dari mereka," ungkapnya.
Melihat penderitaan warga yang krisis kesehatan juga dirasakan Stephanie di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Namun hal yang paling berkesan, kata dia, yaitu saat berada di bagian timur Indonesia.
Dukungan keluarga modal utama
Selama menjalani pengabdiannya tersebut, dokter muda keturunan Tionghoa ini mendapat dukungan penuh dari keluarga. Menurutnya, dukungan dari keluarga yang berada di Pekanbaru ini menjadi modal utama dalam perjalanan hidupnya tersebut.
Stephanie merupakan warga asli Pekanbaru. Jenjang pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga menamatkan SMA juga di Pekanbaru. Stephanie tercatat merupakan alumni SMA Negeri 9 Pekanbaru, setamat itu barulah ia pergi merantau dan menjalani studi kedokteran di Jakarta hingga saat ini.
"Keluarga saya sangat mendukung sekali, mereka tahu apa yang saya kerjakan, saya juga melaporkan aktivitas di sini," ujarnya.
Meski tidak ada jejak keturunan dari orang tua yang menjadi dokter maupun relawan, namun keteguhan hati Stephanie untuk mengabdikan dirinya sebagai relawan sudah terpatri sejak dini. Itu terbukti dari kegigihannya selama sepuluh tahun memilih jalan pengabdian untuk melayani.
Bahkan dalam perayaan tahun baru Imlek, Stephanie juga tidak selalu bisa pulang dan berkumpul dengan keluarganya di Pekanbaru. Pengalaman merayakan Imlek jauh dari keluarga pernah dijalaninya di daerah krisis.
Seperti saat tahun 2019, dia berada di Palu. Stephanie tidak bisa pulang ke bumi lancang kuning karena jadwal pelayanan belum berakhir.
Dia pun mesti merelakan momen kehangatan bersama keluarga karena berada di tanah rantau dan hanya bisa merayakan hari raya keagamaan tersebut bersama sejawatnya dari lokasi bencana.
"Untuk hari raya Imlek saya gak selalu pulang, pernah saya di lokasi, dua tahun lalu saya gak pulang, saya di Palu. Saya melakukan hari raya Imlek bersama temen-teman relawan (yang satu keyakinan) lainnya," tuturnya.
Dalam lingkungan kerelawanan itu juga, Stephanie menyebut bahwa toleransi sangat dijunjung tinggi oleh para relawan selama di lokasi tujuan pengabdian. Sebab keberagaman dalam kebersamaan selalu menjadi kunci untuk menjalin kerjasama yang baik dalam melayani masyarakat.
"Toleransi kami sangat kuat, sehingga kami bisa merayakan perayaan itu bergantian, ada yang lebaran, natal tahun baru dan Imlek juga," ungkapnya.
Sebagai gadis Tionghoa, dokter muda ini pun tak menepis realitas bahwa etnis Tionghoa lainnya terkenal banyak yang menjalani roda bisnis.
Namun sepertinya hal itu belum membuat Stephanie tertarik, sebab menurut dia latar belakang pendidikannya yang kedokteran membuat ia memilih jalan pengabdian itu.
"Memang untuk rata-rata yang dikenal etnis Tionghoa mereka menjalankan bisnis. Kalau saya pribadi mungkin karena kuliah kedokteran, dan menjalani apa yang saya mau dalam hidup saya," ujarnya.
Kehidupan sebagai relawan memang diakui Stephanie tidak terlalu menjanjikan. Namun tolak ukurnya bukan di situ, dia memilih jalan tersebut lantaran panggilan jiwa.
"Menjanjikan tidak juga sih, kita dapat tunjangan ya secara relawan. Kalau dibandingkan dengan mata pencarian berbisnis sudah pasti tak sepadan dan gak sesuai. Tapi bukan itu yang dicari, tapi kebahagiaan yang pertama, kemudian kepuasan batin yang gak akan didapati dari kegiatan lainnya," tuturnya.
Bagi Stephanie, bisa bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai macam suku, latar belakang, dan mengimplementasikan keilmuannya merupakan hal yang lebih dari cukup.
"Jadi ini memang passion saya, meskipun tidak ada jejak orang tua sebagai dokter maupun relawan," ujarnya.
Di awal tahun 2021, Stephanie mengambil jalan baru. Status kerelawanannya tidak berhenti sampai di sini, namun dia hanya memilih untuk resign sebagai karyawan di yayasan dokter peduli. Bukan persoalan apa-apa, hanya saja ia memilih untuk memfokuskan diri melanjutkan studinya untuk mengambil program spesialisasi.
"Status kerelawanan saya tak berhenti, hanya saja resign sebagai karyawan. Saya ingin melanjutkan sekolah, sekarang sedang persiapan," tukasnya.
Kontributor : Panji Ahmad Syuhada