Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Rabu, 15 September 2021 | 08:15 WIB
Peringatan jangan buang sampah sembarangan di hutan Adat suku Sakai Bathin Sobanga. [Suara.com/Panji Ahmad Syuhada]

SuaraRiau.id - Hutan, rempah dan adat budaya jadi elemen yang tak terpisahkan bagi masyarakat suku Sakai di Riau. Sakai sudah sejak lama tinggal menetap di bumi lancang kuning, keberadaannya dengan alam raya telah menyatu. Tapi itu dulu.

DALAM buku Auf Neuen Wegen Durch Sumatra, yang ditulis Max Mozkowski (1909), tercatat skenario kehidupan masyarakat suku Sakai yang tak terlepas dari keberadaan hutan.

Lebih seratus tahun lalu dia mencatat, alam telah membentangkan harapan bagi komunitas masyarakat adat tersebut. Sakai merupakan orang asli atau indegeneous people yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya. Mereka tinggal di kawasan pedalaman hutan Riau, Pulau Sumatera.

Rumah adat suku Sakai yang telah direvitalisasi, berada di kawasan Hutan Adat Suku Sakai Perbatinan Sobanga, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis. [Suara.com/Panji Ahmad Syuhada]

Sejak dahulu, hutan dan sungai memberikan penghidupan bagi masyarakat Proto-Melayu. Masyarakat suku Sakai, masih memanfaatkan hutan sebagai sumber harapan. Namun kini, tergerus oleh zaman dan kemajuan, hutan yang dulunya luasnya tak terkira tempat mereka tinggal, kini terkikis hampir habis.

Polemik ini membuat Cendekiawan Sakai, Mohamad Agar Kalipke jadi risau. Hutan yang mestinya jadi payung teduh bagi masyarakat adat tersebut, sekarang sudah hampir sirna dijamah manusia.

"Ini sebuah keruntuhan. Soal hutan adalah kasus dan dilema. Hilangnya hutan itu menurut saya adalah keruntuhan Sakai, (berdampak) untuk budaya, tradisi, penghidupan Sakai, juga termasuk pengobatan," kata Agar Kalipke, kepada Suara.com, Selasa (7/9/2021) Muara Basung, Kabupaten Bengkalis.

Selama itu, hutan memberikan kontribusi yang tak terhingga bagi kelompok masyarakat adat tersebut. Dulu, alam menyediakan segalanya bagi manusia, termasuk bagi masyarakat suku Sakai. Mereka yang ingin makan nikmat, gampang. Pergi ke hutan, mencari rusa, kijang, kancil dan juga burung-burung. Semua mudah dicari.

Begitupun di sungai, ikan-ikan dulu mudah ditemukan, seperti ikan Baung, Toman, Tapah, Gabus ataupun Limbat, namun sekarang sulit. Apalagi soal rempah. Hutan yang dulunya kaya akan rempah dan tumbuhan herbal, kini sudah sukar ditemukan. Padahal kawasan hutan tersebut merupakan salah satu sumber rempah dan panganan tradisional masyarakat Sakai.

Hutan yang berada di tanah ulayat nenek moyang Sakai kini hanya berkisar 240 hektare, lokasinya berada di perbathinan Sakai Bathin Sobanga, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis.

Jumlah bentangan alam ini jauh menurun dari sebelumnya 17.000 hektare. Salah satu faktor penyebabnya ialah terkikis oleh keberadaan korporasi.

Masyarakat adat Sakai tersebut, awal 2021 lalu kembali berusaha untuk mendapatkan pengakuan hutan adat, mereka menyampaikan hajat itu ke Lembaga Adat Melayu atau LAM Riau, kemudian Pemprov Riau agar diteruskan ke Pemerintah Pusat.

Tujuannya supaya hutan yang tinggal sedikit itu tetap bisa dipertahankan dengan skema adat hingga bisa diwariskan ke generasi Sakai mendatang. Atau ringkasnya; adanya pengakuan hutan adat oleh negara.

Bagi Agar Kalipke, yang merupakan lulusan magister sastra dan bahasa Universitas Hamburg, Jerman ini, kelestarian hutan dan seisinya mesti terus dijaga. Termasuk juga tradisi dan budaya komunitas masyarakat ini.

Sebagai upaya dasar, Agar juga menanam pohon-pohon tua yang bibitnya sengaja diambil dari hutan adat untuk ditanami di pekarangan rumahnya. Ini sebagai upaya pelestarian alam yang semakin terkikis habis.

Cendikiawan Sakai, Mohamad Agar Kalipke saat menunjukan salah satu pohon hutan yang ditanami di pekarangan rumahnya. [Suara.com/Panji Ahmad Syuhada]

"Jadi, hutan itu adalah supermarket dan apotek kita. Itu jelas dan tak perlu diterangkan lagi ya, karena dari hutan itu kita ada rempah-rempah, sayuran, umbian, rotan, palem, kluno atau ubi. Dulu kita itu tak kenal namanya beras, makanan pokoknya itu ubi," ungkapnya.

Load More