Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Rabu, 15 September 2021 | 08:15 WIB
Peringatan jangan buang sampah sembarangan di hutan Adat suku Sakai Bathin Sobanga. [Suara.com/Panji Ahmad Syuhada]

Oleh karena itu, hubungan tersebut harus dipulihkan melalui tradisi Dikei Sakai ini. Suku Sakai percaya roh-roh halus yang ada di sekitar manusia ada yang baik dan bisa dipanggil untuk mengatasi masalah kesehatan pada manusia sekaligus mengembalikan hubungan baik antara manusia dengan makhluk-makhluk tersebut.

Masyarakat suku Sakai masih mempertahankan tradisi ini untuk proses penyembuhan dari berbagai penyakit. Walaupun sudah ada juga kalangan yang mulai modern dan memilih berobat ke rumah sakit. Kondisi inilah yang membuat tradisi Dikei Sakai semakin langka dan nyaris punah.

"Tradisi ini sudah jarang, tapi masih ada juga yang melaksanakannya," ujarnya.

Seiring semakin sedikitnya kelompok masyarakat suku Sakai yang tinggal di pedalaman, tradisi ini pun semakin lama semakin jarang ditemukan. Teater pertunjukan modern banyak yang mengadopsi konsep tradisi ini menjadi seni pertunjukan modern yang ditampilkan di kegiatan-kegiatan besar.

Salah satunya pada iven Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012 lalu di Provinsi Riau. Sajian tradisi Dikei Sakai ditampilkan dalam kegiatan seremoni akbar tingkat nasional tersebut.

Tradisi pengobatan Dikei masyarakat Sakai secara resmi juga disahkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional 2019 dari Provinsi Riau bersama 5 budaya tak benda lainnya yang juga disahkan di waktu yang sama.

Tradisi ini dinilai memenuhi syarat untuk disahkan karena beberapa aspek, di antaranya, mewakili identitas kelompok tertentu di Riau yakni suku Sakai. Kemudian mendesak untuk dilestarikan dan terancam punah, lalu unik dan memiliki beberapa aspek untuk kehidupan suku terkait dan merupakan tradisi kehidupan yang dilakukan oleh suku Sakai di Riau.

Pengelompokkan Sakai
Orang Sakai, sebagian besar saat ini tinggal di wilayah Kabupaten Bengkalis. Mereka terdiri dari beberapa kelompok masyarakat atau perbathinan yang menjadi wilayah kekuasaan adat. Dari setiap perbathinan, ada seorang bathin atau kepala suku yang dipercaya mengurusi soal tata wilayah hingga norma-norma.

Lazimnya, seorang bathin merupakan keturunan dari bathin-bathin yang terdahulu. Bisa anak, ataupun kemenakan. Mohamad Agar Kalipke sendiri, merupakan salah satu bathin yang meneruskan estafet kepemimpinan ayahnya di wilayah perbathinan Tengonung atau Tengganau. Ia didapuk memimpin wilayah adat itu sejak Februari 2021, atau hampir genap dua tahun setelah kepulangannya dari Negeri Panzer.

Sambil memperlihatkan beberapa rempah yang berasal dari hutan tadi, Agar menjelaskan bahwa kelompok perbathinan Sakai ada 13 dan tersebar di beberapa wilayah.

Perbathinan itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu bathin nan limo atau perbathinan lima dan bathin nan lapan (bathin solapan) atau perbathinan delapan.

"Bathin nan limo itu di antaranya Bathin Tengganau, Penaso, Minas, Singo Majo, dan Tio Pati. Nah, Bathin nan lapan yaitu ada Pucuk Bathin Semunai, Sutan Betuah, Bathin Betuah, Beromban Petani, Bumbung dan Bathin Beringin," ungkapnya.

Wilayah perbathinan suku Sakai ini, membentang dari Minas Kabupaten Siak hingga ke perbatasan Kabupaten Bengkalis dengan Dumai. Sakai sendiri, masih ada hubungan kekerabatannya dengan Kesultanan Siak dahulu.

Adapun tugas-tugas Bathin sebagai pemangku wilayah adat, yaitu menjaga tradisi, adat, batasan wilayah, sosial masyarakatnya hingga menjadi hakim yang mengurusi soal hukum adat.

Dalam menjalankan tata kelola wilayah adat perbathinan Sakai itu, biasanya seorang bathin akan dibantu oleh tungkek atau wakil bathin, kemudian monti atau penasehat, antat-antat hingga uak saoh atau dalam istilah yaitu yang membantu seorang bathin menyiarkan kabar ke rakyat.

Load More