SuaraRiau.id - Ribuan massa dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan (AMMP) menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Bundaran Zapin hingga depan Kantor Gubernur Riau Pekanbaru, Rabu (18/6/2025).
Mereka menolak rencana relokasi dari kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, dan mendesak pemerintah untuk melegalkan lahan tempat tinggal serta sumber penghidupan mereka tersebut.
Pantauan Suara.com, aksi yang dimulai sejak pukul 08.00 WIB itu berlangsung damai dan diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari orang tua, remaja hingga anak-anak.
Massa tampak membawa bendera Merah Putih, spanduk berisi tuntutan, pengeras suara, serta poster berisi seruan agar pemerintah berpihak kepada rakyat kecil.
Baca Juga:Tolak Relokasi dari TNTN, Ribuan Massa Geruduk Kantor Gubernur Riau
Aksi ini menyebabkan penutupan sejumlah jalan protokol dan menimbulkan kemacetan panjang di beberapa titik Kota Pekanbaru.
Korlap aksi, Wandri Putra Simbolon kepada awak media mengungkapkan kekhawatiran dan tekanan yang mulai mereka rasakan setelah munculnya kebijakan relokasi. Sejumlah dusun disebut sudah dipasangi portal, dan warga merasa terintimidasi.
"Ada pemasangan portal di beberapa dusun. Warga mulai merasa takut dan khawatir. Kami berharap Kapolda Riau bisa mengkondisikan ini agar situasi tetap tenang," ungkap salah satu tokoh masyarakat yang hadir dalam audiensi.
Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sebelumnya menetapkan batas waktu relokasi mandiri selama tiga bulan, dari 22 Mei hingga 22 Agustus 2025. Namun sejauh ini, baru satu-dua rumah yang terlihat mulai melakukan relokasi.
Warga meminta negara hadir dengan tanggung jawab penuh, termasuk memastikan ganti rugi yang adil jika relokasi memang tidak bisa dihindari.
Baca Juga:10 Kabupaten-Kota di Riau Resmi Berstatus Siaga Karhutla
"Negara harus bertanggung jawab. Kalau memang harus pindah, pastikan ganti rugi sesuai. Ini bukan tanah perusahaan, ini tanah yang sejak lama menjadi tempat kami hidup. Tidak semua lahan di TNTN dikuasai masyarakat, justru 153 ribu hektare dirusak oleh korporasi besar," ujar warga lainnya.
Wandri mengatakan bahwa ada tiga klaster yang saat ini terdampak permasalahan yaitu masyarakat asli yang sudah tinggal di wilayah tersebut sebelum TNTN ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Masyarakat yang masuk setelah kawasan ini ditunjuk sebagai taman nasional, namun tidak mendapatkan sosialisasi atau solusi dari pemerintah dan kelompok yang datang setelah UU Cipta Kerja diberlakukan, yang juga membutuhkan pendekatan berbeda.
"Jangan samakan semuanya. Ada warga yang sudah tinggal di sana sebelum TNTN lahir. Mereka punya sejarah panjang di sana. Kalau ada cukong, silakan tindak tegas. Tapi yang benar-benar punya hak tolong dihargai," tegasnya.
Kritik tajam juga disampaikan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang diduga telah merambah kawasan TNTN secara masif, namun tidak tersentuh hukum.
"Kami ini sangat mencintai taman nasional. Tapi jangan sampai taman nasional hanya jadi kamuflase. Habis dulu hutannya oleh perusahaan, setelah sawit menghasilkan baru kami warga kecil tiba-tiba disuruh pergi. Ini tidak adil," ujar perwakilan masyarakat.
Mereka menuntut penegakan hukum yang menyeluruh dan tidak tebang pilih. Jika negara memang ingin menyelamatkan TNTN, maka semua pihak yang merusak, termasuk korporasi besar, harus ditindak tegas.
"Kalau memang mau relokasi, kami siap, asal adil. Tapi jangan cuma kami yang dikorbankan. Negara harus adil, dan hukum harus ditegakkan untuk semua pelanggar," tutur warga.
"Bantu fasilitasi kami ke pusat, berikan juga kami ruang untuk berdiskusi dan berikan keadilan dalam penyelesaian masalah ini," sambungnya.
Usai menyampaikan sejumlah orasi, perwakilan massa melakukan audiensi denfan Gubernur Riau (Gubri) Abdul Wahid yang akhirnya turun langsung menemui massa aksi.
Ia tampkan didampingi Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan, Bupati Pelalawan Zukri Misran dan Bupati Indragiri Hulu Ade Hartanto.
Dalam pernyataannya, Gubri berjanji akan menyampaikan aspirasi masyarakat kepada Presiden melalui Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin selaku Ketua Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).
"Kita tidak ingin ada masyarakat yang dianaktirikan. Aspirasi ini akan kita teruskan dan kita komunikasikan dengan para pemangku kebijakan. Negara ini tidak berniat menyengsarakan rakyatnya," kata Gubri.
Ia menambahkan bahwa jika relokasi menjadi kebijakan yang harus diambil, maka harus dipastikan solusinya tidak merugikan masyarakat.
"Harus ada solusi yang konkret, di mana lokasi relokasinya, bagaimana nasib pendidikan anak-anak, dan kelangsungan ekonomi warga. Itu yang harus kita pikirkan bersama," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah pusat melalui Satgas PKH telah menetapkan batas waktu tiga bulan bagi para penggarap ilegal di kawasan TNTN untuk mengosongkan lahan.
Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Kasum TNI Letjen Richard TH Tampubolon saat pemasangan plang penyegelan kawasan TNTN pada 10 Juni 2025 lalu.
"Mulai 22 Mei hingga 22 Agustus 2025 adalah masa tenggat relokasi mandiri. Ini kawasan konservasi milik negara. Segala bentuk pembukaan lahan, tempat tinggal, dan perkebunan di kawasan ini merupakan pelanggaran hukum," tegas Letjen Richard.
Dari total luas awal 81.793 hektare TNTN, kini hanya tersisa sekitar 20 ribu hektare yang masih berbentuk hutan alami. Sisanya telah berubah menjadi kebun sawit ilegal.
Letjen Richard menjelaskan bahwa masyarakat masih diberi waktu untuk memanen sawit yang berusia lebih dari lima tahun, namun sawit di bawah usia itu akan dianggap sebagai hasil perambahan baru dan dilarang total.
"Selama tiga bulan ke depan, dilarang membuka lahan baru, menanam, maupun memperluas kebun. Kami harap masyarakat patuh dan sadar pentingnya menjaga hutan ini," tambahnya.
TNTN sendiri merupakan rumah bagi berbagai satwa langka seperti harimau Sumatra dan gajah.
Kerusakan kawasan ini dinilai sudah pada tahap kritis, mengancam ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI, Febrie Adriansyah, yang ikut dalam kunjungan itu, juga menyebut telah ditemukan indikasi keterlibatan oknum aparat dan pejabat pemerintah dalam praktik perambahan hutan.
"Semua pihak yang terlibat akan diproses sesuai hukum. Ini bukan hanya persoalan masyarakat, tapi juga adanya dugaan keterlibatan pihak berwenang," jelasnya.
Kontributor : Rahmat Zikri