SuaraRiau.id - Masyarakat Adat Pantai Raja Kampar bersama Jikalahari, WALHI, YLBHI dan PMII mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menyelesaikan konflik lahan antara masyarakat adat Pantai Raja dengan PT PTPN V.
Masyarakat Adat Pantai Raja meminta pemerintah pusat membantu mengembalikan tanah yang dikuasai PTPN V sejak 38 tahun yang lalu.
Sekitar 40 Masyarakat Adat Desa Pantai Raja, sejak Jumat (21/10/2022), berangkat ke Jakarta dengan restu dari LAM Riau.
Masyarakat adat mengaku tanah mereka yang dikuasai oleh salah satu BUMN itu sejak tahun 1984. Penguasaan lahan oleh PTPN V disebut mencapai 1.013 hektare.
Perwakilan Masyarakat Adat Pantai Raja, Gusdianto mengungkapkan bahwa pada tahun 1999, PTPN V mengakui terdapat 150 hektare tanah masyarakat masuk dalam area kebun inti PTPN V. Pengakuan tersebut pun disertai janji pengembalian tanah masyarakat adat.
"Pada tahun 2019, Komnas HAM memberikan rekomendasi penyelesaian konflik. Komitmen pengembalian tanah masyarakat dan rekomendasi penyelesaian konflik diabaikan oleh PTPN V dan justru masyarakat dikriminalisasi” jelas Gusdianto.
Menurutnya, konflik masyarakat adat dan PTPN V selama lebih dari 38 tahun terjadi disebabkan keengganan negara menyelesaikan konflik tersebut.
Gusdianto mengatakan lambatnya penyelesaian konflik oleh negara mendorong masyarakat “Menjemput Keadilan di Jakarta”.
Pada Minggu (23/10/2022), masyarakat telah menyampaikan aduan kepada Menteri ATR/BPN, Kantor Staf Presiden, Kementerian BUMN hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Masyarakat Pantai Raja pun bertemu dengan Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto pada Senin 24 Oktober 2022.
Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setyo yang ikut mendampingi masyarakat adat mengungkapkan bahwa pihaknya dan Kepala Desa Pantai Raja, Khaerud Zaman menyampaikan konflik tersebut kepada Menteri ATR/BPN.
"Dalam pertemuan itu, Menteri ATR/BPN mengatakan bahwa Kementerian ATR/BPN dalam penyelesaian konflik PTPN V dan masyarakat perlu duduk bersama dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Desa," terangnya.
"Pada akhir pertemuan, Menteri ATR berjanji membantu penyelesaian konflik. Kami menunggu realisasi janji tersebut,” sambung Okto.
Selanjutnya masyarakat adat Pantai Raja bertemu Tim Reforma Agraria Kantor Staf Presiden (KSP). KSP sudah menerima aduan masyarakat sejak tahun 2020 dan menindaklanjutinya dengan kunjungan lapangan.
Tim Reforma Agraria KSP menyampaikan terdapat 223 konflik yang melibatkan PTPN, termasuk PTPN V. KSP menyampaikan kendala penyelesaian konflik dengan entitas usaha BUMN terkait Peraturan Menteri BUMN No 2 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara.
Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Riau, Boy Even Sembiring menyebut bahwa konflik masyarakat dengan PTPN V adalah satu dari sekian banyak konflik agraria di Riau.
Ia menjelaskan pilihan PTPN V abai terhadap penyelesaian konflik menjadi cerminan buruk negara yang mementingkan bisnis dibandingkan kepentingan rakyat.
“Seharusnya Kementerian BUMN dan badan usaha di bawahnya mengambil bagian dalam akselerasi program reforma agraria Presiden. Hambatan dalam penyelesaian konflik seperti Menteri BUMN dengan latar belakang pebisnis, harus dipaksa menjalankan bisnis dengan memperhatikan kepentingan rakyat," tegas Boy.
Dia menjelaskan bahwa apabila tidak mau, maka Presiden harus menggantinya. Gubernur Riau dan Bupati Kampar juga seharusnya menaruh perhatian terhadap konflik dengan memaksa PTPN V mengembalikan tanah masyarakat tanah adat atau mengusir PTPN V dari Riau.
Ketua Bidang advokasi YLBHI Zaenal Arifin, menyatakan konflik yang dihadapi masyarakat adat merupakan satu dari sekian konflik yang gagal diselesaikan pada dua periode rezim Jokowi. Reforma agraria hanya jadi lips service.
Penyelesaian konflik agraria membutuhkan komitmen politik dari Presiden karena tipologi konflik melibatkan lintas kementerian.
“Nahasnya, saat ini rezim Jokowi dikelilingi oleh pejabat publik yg terlibat dalam pusaran bisnis yang menjadi pemicu berbagai konflik agraria. Konflik yang menimpa masyarakat adat juga terjadi karena ketiadaan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta wilayahnya. Sudah waktunya pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat,” ulas Zaenal.
Konflik antara masyarakat adat Pantai Raja dengan PTPN V harus menjadi prioritas Presiden Jokowi untuk segera diselesaikan. Setidaknya atas beberapa alasan berikut:
Pertama, konflik sudah berlarut sejak 38 tahun dan menyebabkan kesengsaraan masyarakat. Pada 1984 PTPN V datang ke Pantai Raja tanpa ada dialog langsung merusak kebun karet masyarakat. Terdapat 157 KK kehilangan kebun karet yang menjadi sumber penghidupannya.
Kedua, Lahan yang disengketakan telah diakui oleh pihak PTPN V. Pada 1999, pihak masyarakat diundang oleh PTPN V untuk berdialog dan menghasilkan kesepakatan bahwa pihak PTPN V mengakui secara tertulis disaksikan oleh Pemkab Kampar, Kapolsek Siak Hulu bahwa terdapat lahan karet milik Masyarakat Adat Pantai Raja seluas 150 hektar berada dalam inti kebun Sei Pagar PTPN V.
Ketiga, masyarakat telah berjuang di daerah. Masyarakat telah berupaya sesuai koridor hukum dan meminta penyelesaian pemerintah daerah mulai dari Kepada Bupati Kampar, hingga Gubernur Riau. Kami juga telah difasilitasi Komnas HAM RI pada 2019, DPRD Provinsi Riau juga oleh Gubernur Riau pada 2021.
Keempat, masyarakat jadi korban kriminalisasi dan digugat ke pengadilan akibat konflik yang tak kunjung selesai. Saat masyarakat menuntut kesepakatan mediasi oleh Komnas HAM RI, justru PTPN V melalui Direktur PTPN V, Jatmiko K Santosa melaporkan 14 perwakilan warga Polda Riau dengan tuduhan pendudukan lahan tanpa izin. PTPN V menggugat 14 perwakilan masyarakat ke Pengadilan Negeri Bangkinang sebesar Rp 14,5 milyar.