Selanjutnya, hasil produksi diedarnya ke sejumlah kota/kabupaten di Bumi Lancang Kuning.
“Ekstasi diedarkan di dalam dan luar Pekanbaru. Sekitar 5.000 butir ekstasi telah mereka ejarkan dengan nilai jual Rp150.000-Rp500.000 per butirnya,” jelas Kenedy.
Atas perbuatannya kedua tersangka dijerat dengan pasal berlapis. Yakni Pasal 114 ayat 2 Jo Pasal 132 ayat 1, subsidair Pasal 113 ayat 2 Jo Pasal 132 ayat 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ancamannya hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Belajar membuat ekstasi di Lapas Gobah
Mendekam di balik jeruji besi, tak membuat Herman Keli insyaf. Selama menjalani masa hukuman, pria paruh baya tersebut malah belajar membuat pil ekstasi dari rekanannya sesama warga binaan Lapas Kelas IIA Pekanbaru.
Usia menghirup udara bebas, Herman mempratekkan teori ilmu yang dipelajari dengan membuka bisnis rumahan produksi ekstasi bersama rekannya, Iman Santoso.
“Herman ini belajar (buat ekstasi) dari LP Gobah. Dia di penjara tambah pintar. Yang memberikan pelajaran itu Abeng, sudah almarhum,” kata Kenedy.
Dalam menjalankan bisnis haram itu, Herman dan Iman Santoso memiliki peran berbeda. Herman bertugas meracik bahan baku untuk pembuatan ekstasi, sedangkan Iman mengambil peran untuk mencetak ekstasi.
“Herman sebagai peracik dan gurunya (membuat ekstasi,” sambung Deputi Pemberantasan BNN RI.
Herman sendiri merupakan residivis atas kasus narkotika pada tahun 2007 lalu dan dinyatakan bebas 2014. Begitu pula dengan, Iman yang juga pernah ditahan dalam perkara narkotika beberapa bulan karena pengguna barang haram.
“Herman ini, residivis kasus narkotika jenis pil ekstasi sebanyak 10.000 butir,” kata salah seorang petugas BNN.