Menurutnya, investasi tersebut untuk produksi sebanyak 10 ton minyak makan merah per hari.
Untuk investasinya bisa diintegrasikan dengan working capital dan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dengan bunga 5 persen.
Sementara mesinnya bisa diintegrasikan dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), serta untuk pengembangan sawit pada on-farm bisa dengan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Himbara.
"Jadi dalam model kami si koperasi membeli tunai sawitnya, TBS-nya dari petani sehingga si petani itu tidak lagi dipusingkan harus menjual sawitnya ke mana. Lalu koperasi mengolahnya menjadi CPO dan menjadi RPO dan kemudian mereka pasarkan. Kalau ini terintegrasi dengan program (pengurangan) stunting, juga misalnya PTPN menjadi offtaker ya, selain juga petani bisa menjual sendiri," lanjutnya.
Untuk mencapai target produksi 10 ton per hari, Teten menjelaskan bahwa sawit yang dibutuhkan sekitar 50 ton per hari atau 1.000 hektare. Untuk itu, pemerintah menargetkan agar setiap 1.000 hektare lahan sawit ada satu pabrik CPO dan RPO mini ini.
"Sekarang sudah ada sebenarnya beberapa koperasi petani sawit yang luasan lahannya di atas 1.000 hektar. Ini sudah siap, baik yang di Sumatra Utara, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan. Tapi Pak Presiden sekali lagi minta piloting dulu. Ini juga kami nanti akan kerja samakan juga dengan PTPN," jelasnya.
Di akhir keterangannya, Teten menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan upaya yang dilakukan pemerintah sebagai solusi atas dua hal, yakni stabilitas harga TBS petani dan suplai minyak goreng. Teten berharap dengan adanya pabrik CPO dan RPO berbasis koperasi, kesejahteraan petani sawit bisa membaik. (Antara)