SuaraRiau.id - Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau BPN Riau, Syahril disebut terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi Rp 1,2 miliar.
Hal itu terungkap dari terdakwa Sudarso dari pihak PT Adimulia Agrolestari (AA) pengurusan izin perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) sawit di Kuansing.
Menanggapi hal tersebut, pengacara Kepala BPN Riau, Yopi Pebri membantah tudingan terdakwa Sudarso yang mengatakan kalau kliennya, Syahril terlibat.
Yopi Pebri mengungkapkan bahwa sudah menjelaskan sebelumnya jika Syahril dengan tegas mengatakan kalau dirinya tidak menerima uang dari pihak PT AA.
"Kita percayakan pada KPK yang telah melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan subjektif-objektifnya sesuai peraturan yang berlaku. Yang jelas itu tidak ada," ujar Yopi kepada Riauonline.co.id--jaringan Suara.com, Jumat, 11 Februari 2022.
Ketika kliennya diperiksa sebagai saksi, keterangan yang disampaikan Syahril juga dipersoalkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri karena adanya masalah ekspose.
Adapun alasan harus ekspose karena kebijakan Kakanwil BPN Riau untuk dilakukan persiapan atas pengajuan HGU PT AA guna meneliti dan menganalisis apakah berkas permohonan HGU tersebut layak atau tidak layak untuk dilanjutkan permohonannya.
Karena sistem aplikasi KKP yang ada di BPN memberikan batas waktu penyelesaian.
"Bila tidak diekspose, langsung di daftar saja maka akan menjadi tunggakan sebagai kinerja buruk, bilamana tidak bisa selesai dalam batas waktu yang telah ditentukan di internal Kantor Pertanahan," terang Yopi.
Karena dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dan pencegahan, dengan dilakukannya ekspose, maka berkas tersebut akan kelihatan lengkap.
Mengingat perusahaan memaparkan agar ditanggapi, peserta rapat yang merupakan institusi terkait baik dari Pemprov maupun dari Pemkab yang mempunyai tupoksi kewenangan masing-masing sehingga permasalahannya terang benderang dan tidak ditutup-tutupi.
"Apabila lengkap atau bisa paralel kelengkapannya maka berkas tersebut baru didaftarkan tapi kalau belum lengkap maka ditolak untuk dilengkapi dulu," ujarnya.
Ekspose juga dilakukan karena objek yang melekat HGU ini awalnya berada di dua wilayah yaitu Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuansing akan tetapi plasmanya hanya berada di wilayah Kabupaten Kampar.
Maka berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Pasal 15 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 7 Tahun 2017 Tentang Kewajiban Perusahaan Untuk Memfasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat minimal 20 persen.
"Objek HGU PT AA berada di dua wilayah Kabupaten, sedangkan PT AA telah memberikan plasma 21,58 persen yakni di Kabupaten Kampar sehingga perlu adanya solusi untuk menghindari adanya kebuntuan pemberian plasma minimal 20 persen di Kabupaten Kuansing. Mengingat ada tiga desa yang meminta Plasma," ungkap dia.
Atas keadaan yang demikian itu, Kepala BPN Riau memerlukan rekomendasi Bupati Kuansing terhadap perlu atau tidaknya PT AA memberikan plasma kepada 3 Desa tersebut.
Namun kemudian adanya kejadian OTT oleh KPK, Bupati Kuansing dan Terdakwa S dari PT AA, yang mana hal tersebut tidak ada kaitannya dengan Kakanwil BPN Riau.
Kakanwil tidak mengenal sama sekali dengan Bupati Kuansing tersebut karena rekomendasi yang disampaikan adalah sifatnya pilihan agar persoalan pengajuan perpanjangan HGU PT AA tidak mandek di Kantor pertanahan.