SuaraRiau.id - Mantan Kepala Kejaksaan Negeri di Indragiri Hulu (Inhu), Hayin Suhikto divonis 5 tahun penjara dalam kasus pemerasan 61 kepala sekolah (Kepsek) di wilayahnya.
Ia telah terbukti bersalah telah menyalahgunakan wewenang jabatan sebagai Kepala Kejari Indragiri Hulu kala itu.
Terdakwa juga didenda Rp 200 juta dengan subsider 3 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa (16/3/2021).
Vonis hakim lebih berat dari tuntutan jaksa sebelumnya yang hanya 3 tahun penjara. Vonis ini disampaikan Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, Saut Maruli Tua Pasaribu di ruang Soebakhti lantai dua.
Dalam agenda sidang putusan terhadap Hayin Suhikto dan dua rekannya atas dugaan pemerasan 61 Guru Kepala SMP di Inhu pada pengelolaan bantuan dana BOS berlangsung virtual.
"Terdakwa telah mencoreng institusi penegak hukum (Kejari) dengan terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat pemeran, dengan ini saudara Hayin Suhikto di jatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta dikurangi masa tahanan," ucap Hakim Ketua dikutip dari Riauonline.co.id--jaringan Suara.com, Selasa (16/3/2021).
Lebih lanjut, Saut Maruli Tua Pasaribu mengatakan, jika terdakwa Hayyin Suhikto tidak mampu membayar denda Rp 200 juga akan diganti dengan subsider 3 bulan penjara.
"Perbuatan terdakwa juga tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi dan malah terlibat sehingga terdakwa terbukti bersalah," tegasnya.
Berdasarkan dakwaan JPU, Eliksander Siagian mengatakan, bahwa terdakwa Hayin Suhikto beserta dua stafnya diduga terbukti melakukan pemerasan dengan total Rp 1,5 miliar.
"Terdakwa Hayin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun, dan denda Rp 50 juta atau subsider 1 bulan kurungan badan," ucap Eliksander, Selasa 9 Februari 2021 lalu.
Sedangkan dua orang lainnya, Ostar dan Rionald dituntut pidana penjara masing-masing selama 2 tahun dan membayar denda masing-masing Rp 50 juta.
Dalam tuntutannya, JPU menyebutkan barang bukti berupa uang Rp 1.505.000.000 yang disita dari Pahala Eric Silvandro, dikembalikan ke guru, melalui Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP se-Kabupaten Inhu, Eka Satria.
Atas tuntutan itu, para terdakwa menyatakan mengerti dan mengajukan pembacaan pledoi atau pembelaan. Majelis hakim mengagendakan pembacaan pledoi pada persidangan pekan depan.
Dalam dakwaan JPU disebutkan, ketiga terdakwa diduga melakukan pemerasan terhadap kepala SMP negeri di Inhu, Kamis 10 Desember 2020 lalu.
Para terdakwa didakwa melakukan pemerasan Rp 1,5 miliar.
Dijelaskan, perbuatan para terdakwa terjadi pada bulan Mei 2019 sampai dengan Juni 2020 lalu. Hayin menerima uang Rp 769.092.000, Ostar menerima Rp 275 juta dan satu unit iPhone X sedangkan terdakwa Rionald menerima uang Rp 115 juta.
"Seluruh dana diterima Rp 1.505.000.000,. Penerimaan itu bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya terdakwa selaku penyelenggara negara," kata JPU.
Uang itu berasal dari 61 kepala SMP negeri di Inhu. Penerimaan uang itu berawal ketika kepala SMP itu menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2016 hingga 2018. Ada laporan pengelolaan dana diduga diselewengkan.
Bukannya melakukan penyelidikan, dan pelaksanaan tugas sesuai prosedur yang berlaku terhadap adanya dugaan Tidak Pidana Korupsi dalam pengelolaan dana BOS itu, para terdakwa justru meminta uang kepada para kepala SMP agar kasus tidak dilanjutkan.
Tindakan para terdakwa bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan 6 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pasal 10 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 23 huruf d, e dan f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.