SuaraRiau.id - Sejumlah petani kelapa sawit asal Provinsi Riau menggelar aksi di Jakarta. Para petani Desa Dayun Kecamatan Dayun Kabupaten Siak itu berunjuk rasa di dekat Istana Kepresidenan atau tepatnya di depan pintu Monas, Jakarta Pusat pada Senin (23/11/2020).
Petani kelapa sawit itu menuntut keadilan karena kebunnya di kampung dirampas perusahaan setempat. Hal ini terkait intervensi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
Koordinator Lapangan aksi, Ridwan Pakpahan, mengatakan pihaknya sudah tidak tahan dengan perusahaan itu yang dianggap mencaplok dan merusak kebun kelapa sawit mereka.
Ridwan menyebut aksinya itu mewakili lebih dari 600 petani lain yang sudah berkebun kelapa sawit di desa itu sejak tahun 1990. Namun yang datang ke Jakarta merupakan perwakilan yang berjumlah enam orang.
Mereka melakukan aksi sambil memakai masker dan membentangkan spanduk yang meminta agar Presiden Joko Widodo turun tangan mengusir perusahaan RAPP itu.
Sejumlah aparat kepolisian juga terlihat berjaga sambil mengatur lalu lintas di sekitar lokasi.
Ridwan menyebut luas lahan yang terancam dirampas berjumlah sampai 2.000 hektar. Tiap kelompok kecil petani memiliki lahan yang luasnya berbeda-beda.
"Waktu itu kami masih kelompok - kelompok kecil. Kalau ditotal semua, luas kebun kelapa sawit petani hampir 2.000 hektar," ujar Ridwan di lokasi, Senin (23/11/2020).
Awalnya, kata Ridwan, hingga tahun 2015 lahan petani berdampingan dengan RAPP dan hanya berbatasan dengan kanal besar yang sengaja dibuat oleh perusahaan itu.
Namun setelahnya utusan perusahan mulai mendatangi petani dan menyebut lahan kebun kelapa sawit petani adalah areal konsesi perusahaan sesuai SK Menhut nomor 180 tahun 2013.
"Mulai dari security, humas, baju coklat hingga baju loreng, gantian mendatangi kami. Lama kelamaan, kami mulai diintervensi. Yang tak mau menyerahkan lahannya, perusahan mengancam akan mempolisikan kami," jelasnya.
Dapat ancaman seperti itu, satu persatu petani mulai ketakutan dan menyerahkan lahannya kepada perusahaan karena takut dipenjara. Terlebih lagi pihak perusahaan menawarkan imbalan kepada petani yang menyerah.
"Yang menyerahkan lahannya dikasi sagu hati Rp3 juta per hektar. Ada juga yang ngotot tak mau menyerahkan, dipenjarakan. Inilah yang membuat petani semakin takut," urai Ridwan.
Lalu pada tahun 2017 para petani mendirikan Koperasi Sukses Maju Bersama Siak (SMBS). Tujuannya agar mereka punya legitimasi kuat untuk mengatasi persoalan ini.
"Kami sudah menyurati semua instansi yang terkait dengan persoalan kami, mulai dari daerah hingga ke pusat. Namun yang terjadi perusahaan justru semakin beringas," tuturnya.
Hasilnya pada tahun 2016, lewat SK 1004, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat sanksi kepada perusahaan. Sanksi itu berupa pencabutan tanaman akasia yang sudah sempat ditanam perusahaan, begitu juga dengan kanal yang sudah sempat digali, ditutup kembali.
"Ada sekitar 80 persen lahan yang akasianya harus dicabut. Nah, sejak tahun 2017, kami aman lagi tidak ada gangguan meski perusahaan dan Pemda masih mengatakan kalau kebun kami adalah areal konsesi RAPP," jelas Ridwan.