Riwayat Taman Nasional Tesso Nilo, 'Surga' Beraneka Ragam Satwa Liar Langka

Ketika itu tutupan hutan alamnya dalam kondisi baik.

Eko Faizin
Rabu, 25 Juni 2025 | 09:47 WIB
Riwayat Taman Nasional Tesso Nilo, 'Surga' Beraneka Ragam Satwa Liar Langka
Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). [Instagram: btn_tessonilo]

SuaraRiau.id - Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) menjadi sorotan setelah Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melakukan penertiban kawasan dilindungi tersebut.

Secara administrasi TNTN berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu.

TNTN awalnya merupakan kawasan hutan produksi terbatas yang masuk dalam areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Inhutani IV.

Berdasarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, ada sekitar 360 jenis flora tergolong dalam 165 marga dan 57 suku untuk setiap hektarenya.

Baca Juga:WALHI Riau: Penertiban Kawasan TNTN Harus Perhatikan Aspek Pemulihan

Ketika itu tutupan hutan alamnya dalam kondisi baik.

TNTN dikenal sebagai habitat bagi beraneka ragam jenis satwa liar langka, seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), berbagai jenis Primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang. 

Secara kebijakan, awalnya areal yang disiapkan menjadi Kawasan konservasi TNTN berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor: SK.255/Menhut II/2004 tanggal 19 Juli 2004 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 adalah seluas ±83.068 hektare.

Selanjutnya, luas ini diperbaharui secara definitif menjadi ±81.793 hektare melalui Keputusan Menhut Nomor: Sk.6588/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan TNTN.

Olah citra satelit WALHI Riau menunjukkan kondisi areal tersebut pada 1997 dan 2004 mempunyai kerapatan hutan ±78.274 hektare.

Baca Juga:Ribuan Massa Aksi TNTN Tolak Relokasi: Negara Harus Bertanggung Jawab

Kondisi ini jauh berbeda dengan saat ini, dimana tutupan hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 hektare atau 15,36 persen hutan alam dari total luas arealnya.

Kondisi ini jauh berbeda dengan saat ini, di mana tutupan hutan alam di kawasan TNTN hanya menyisakan 12.561 hektare atau 15,36 persen hutan alam dari total luas arealnya. 

Berdasarkan data Eyes on The Forest (EoF) dalam laporan Kondisi Usulan dan Strategi Penanganan Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo tahun 2010.

Penggunaan lahan di lokasi TNTN oleh masyarakat sejatinya telah berlangsung sejak 1999, sebelum perubahan fungsi areal ini menjadi kawasan konservasi.

Aktivitas masyarakat dipicu oleh tiadanya aktivitas PT Inhutani IV yang izinnya kemudian dicabut pada 2002.

Aktivitas yang dilakukan masyarakat adalah berupa persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet.

Namun hasil dari usaha perkebunan kerap gagal karena gangguan gajah sehingga masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar.

Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005.

Hal inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif baik dari perorangan hingga cukong dalam kawasan TNTN.

Berdasarkan laporan EoF yang sama, Kawasan Hutan Tesso Nilo merupakan wilayah kelola bagi 19 kelompok hak ulayat.

Perlu diketahui, pada saat penetapan kawasan konservasi TNTN, telah ada enam desa terbangun di lokasi tersebut.

Keenam desa itu yakni: Desa Air Hitam, Desa Lubuk Batu Tinggal, Desa Simpang Kota Medan, Desa Lubuk Kembang Bunga, Desa Kesuma, dan Desa Segati.

Barulah pada 2007, terjadi pemekaran satu desa bernama Desa Bagan Limau.

Perambahan pasca penetapan TNTN berlanjut pada areal kerja dua izin HPH yaitu PT Siak Raya Timber (SRT) dan PT Hutani Sola Lestari yang tidak aktif dan kemudian dicabut.

Selain itu, pasca 2004 juga tercatat ada satu aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit (PT Inti Indosawit Subur) dan lima perusahaan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di area zona buffer atau sekitar TNTN yang kemungkinan besar turut berkontribusi pada terjadinya perambahan di kawasan TNTN, seperti yang dilakukan PT RAPP.

EoF menyebut dalam laporan Kondisi Usulan dan Strategi Penanganan Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo tahun 2010, penggunaan lahan di lokasi TNTN oleh masyarakat sejatinya telah berlangsung sejak 1999, sebelum perubahan fungsi areal ini menjadi kawasan konservasi.

Aktivitas yang dilakukan berupa persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet hingga akhirnya siap untuk ditanam.

Namun hasil dari usaha perkebunan ini dinilai tidak sesuai harapan sehingga masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar.

Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005.

Hal ini yang kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif baik dari perorangan, cukong, hingga korporasi. 

Selain soal terbuka akses TNTN karena adanya perizinan kehutanan di-buffer, hal lain yang membuat laju alih fungsi hutan alam menjadi kelapa sawit diakibatkan dua hal.

Pertama, peran penegak hukum yang tidak tegas menindak praktik ilegal ini. Bahkan masifnya alih fungsi dengan pendirian pemukiman malah diakui secara administratif oleh negara.

Kedua, rencana pemulihan TNTN dengan program revitalisasi Tesso Nilo dirusak oleh ketentuan UU Cipta Kerja.

Ketentuan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja telah menghapus pertanggungjawaban pidana aktivitas perkebunan di kawasan hutan yang sudah dimulai sebelum November 2020.

Hal ini memperparah penguasaan kawasan hutan untuk kebun sawit dan memberikan kebebasan pada para pelaku kejahatan kehutanan dalam melanjutkan aktivitas ilegalnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini