SuaraRiau.id - Pekanbaru masuk dalam daftar 10 kota paling intoleran di Indonesia berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 yang dirilis SETARA Institute.
Terkait itu, anggota DPRD Kota Pekanbaru dari Fraksi PDI Perjuangan, Zulkardi melayangkan protes keras terhadap laporan SETARA Institute tersebut.
Dalam laporan yang dirilis lembaga riset itu, Pekanbaru berada di urutan kelima dengan skor 4,320 di bawah Kota Banda Aceh dan di atas Bandar Lampung.
Zulkardi menyatakan keberatan dan mempertanyakan validitas data yang digunakan.
Baca Juga:Bocah 8 Tahun Tewas Diduga Dibully Temannya, Polres Inhu: Tak Ada Kaitan dengan SARA
"Saya langsung terkejut pas baca berita itu ada nama Kota Pekanbaru di dalam daftar. Pekanbaru masuk kota intoleran? Mengada-ada ini SETARA Institute," katanya dikutip dari Antara, Minggu (1/6/2025).
Zulkardi menilai laporan tersebut tidak berdasar dan mencemarkan nama baik ibu kota Provinsi Riau yang selama ini dikenal damai dan multikultural.
Penilaian dilakukan berdasarkan sejumlah indikator, termasuk regulasi pemerintah kota, pernyataan publik pejabat, serta tindakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas.
Ia menilai laporan tersebut tidak berdasar dan mencemarkan nama baik kota yang selama ini dikenal damai dan multikultural.
Menurut Zulkardi, gara-gara hasil riset tersebut menjadi kegaduhan di Pekanbaru.
Baca Juga:Bocah SD di Riau Tewas Dibully Diduga gegara Beda Agama, SETARA: Negara Harus Hadir
"Kita minta mereka harus ada dasar dan kajiannya mengapa Pekanbaru masuk dalam hasil risetnya. Kalau mereka tidak bisa menjabarkan, kita akan tuntut. Dengan adanya berita seperti ini bisa menimbulkan kegaduhan di Pekanbaru," tegasnya.
Zulkardi menyoroti bahwa selama ini masyarakat Pekanbaru hidup berdampingan secara harmonis tanpa konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Pekanbaru ini negeri Melayu. Orang Melayu itu toleransinya tinggi. Hampir semua agama dan suku ada di sini. Selama ini kita damai-damai saja," ujarnya.
Zulkardi meminta SETARA Institute memberikan klarifikasi secara terbuka terkait parameter dan metodologi yang digunakan dalam penilaian.
Menurutnya, penetapan semacam itu berisiko memicu salah paham di tengah masyarakat dan menimbulkan kesan keliru terhadap citra kota.
Zulkardi Kalau intoleran, tentu banyak terjadi kegaduhan. Tapi selama ini kehidupan sosial masyarakat Pekanbaru damai dan tenteram. Mereka turun ke lapangan gak? Tak betul ini data yang mereka keluarkan," kata Zulkardi.
Untuk itu, ia mengajak masyarakat agar tidak terpancing dan tetap menjaga kerukunan serta persatuan di tengah beragam latar belakang yang ada di Pekanbaru.
"Framing Pekanbaru sebagai kota intoleran itu sangat berlebihan. Padahal selama ini kita menjunjung tinggi semangat Bhinneka Tunggal Ika," ujarnya.
Diketahui, dalam laporan SETARA Institute tahun 2024, sepuluh kota dengan skor Indeks Kota Toleran terendah adalah: Parepare (3,945), Cilegon (3,994), Lhokseumawe (4,140), Banda Aceh (4,202), Pekanbaru (4,320), Bandar Lampung (4,357), Makassar (4,363), Ternate (4,370), Sabang (4,377), dan Pagar Alam (4,381). (Antara)
Masuk daftar kota intoleran seperti 2023
Berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) 2023, Pekanbaru juga masuk dalam daftar 10 kota intoleran dengan skor 4,420.
Dalam studi SETARA Institute itu, suatu kota skor terendah bukan hanya disebabkan terjadinya peristiwa intoleran ataupun hal-hal lainnya yang destruktif terhadap toleransi.
Melainkan juga disebabkan ketiadaan fokus dan inovasi terhadap pemajuan toleransi di kotanya, sementara kota-kota telah bergegas dalam melakukan berbagai inovasi maupun terobosan dalam pemajuan toleransi.
Hal lain yang perlu mendapat sorotan berupa keberadaan sejumlah kota yang konsisten sama dari tahun-tahun sebelumnya pada peringkat 10 skor terendah, termasuk tahun 2023, seperti Cilegon, Banda Aceh, Pekanbaru dan Lhokseumawe.
Meskipun kondisi pemajuan toleransi di kota-kota ini stagnan dan mendapat berbagai sorotan publik, hal tersebut nyatanya belum mampu secara memadai mendorong adanya inovasi maupun terobosan pemajuan toleransi, baik berbasis kebijakan, program, maupun ruang-ruang perjumpaan lintas agama.
Meskipun terus diupayakan dan sudah lama memiliki ruang-ruang komunikasi dialogis yang baik antar agama dan etnis, tetapi nyatanya terhambat oleh kebijakan pemerintah kota.