SuaraRiau.id - Seorang siswa kelas 2 SD di Kecamatan Seberida, Indragiri Hulu (Inhu), Riau diduga meninggal tak wajar lantaran disebut dianiaya teman-teman sebayanya.
Sebelum mendapatkan kekerasan fisik, korban berinisial KB (8) disinyalir terlibat cekcok dengan sejumlah rekannya.
Tragedi memilukan yang terjadi pada Minggu (25/5/2025) tersebut menyita perhatian publik, terutama karena korban masih anak-anak dan diduga terjadi di lingkungan sekolah.
Menanggapi kejadian ini, Kapolres Indragiri Hulu AKBP Fahrian Saleh Siregar melalui Kasi Humas Polres Indragiri Hulu Aiptu Misran mengimbau seluruh masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terbawa emosi.
Baca Juga:Bocah SD di Riau Tewas Dibully Diduga gegara Beda Agama, SETARA: Negara Harus Hadir
"Kami mengimbau agar seluruh masyarakat bersabar dan tidak menggiring opini sebelum hasil penyelidikan dan analisis forensik selesai," ucap Aiptu Misran.
Dia menjelaskan jika saat ini proses hukum sedang berjalan dan memastikan kasus tersebut tidak berkaitan dengan isu agama atau suku, agama, ras dan antara golongan (SARA).
"Kita semua tentu sangat prihatin atas kejadian ini, namun penting untuk tetap tenang dan tidak menyebarkan informasi yang belum terbukti kebenarannya. Mari kita percayakan penanganan kasus ini kepada pihak berwenang," ujar Misran.
Polres Indragiri Hulu juga menegaskan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus bocah tewas ini dengan profesional, transparan dan sesuai hukum yang berlaku.
Kasi Humas menuturkan, berdasarkan laporan polisi yang diterima oleh Polres Indragiri Hulu pada Jumat 23 Mei 2025, kasus ini dilaporkan oleh kerabat korban, JB.
Baca Juga:Sekongkol 2 Pekerja Kebun Habisi Nyawa Majikan, Mayat Dibuang ke Sungai Indragiri
Yang menyampaikan bahwa korban mengalami kekerasan fisik hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia saat dalam perawatan di RSUD Indrasari, Pematang Reba pada Senin (26/5/2025) pukul 02.00 WIB
Sebelumnya, korban sempat dirawat di beberapa fasilitas kesehatan swasta hingga akhirnya dirujuk ke RSUD Indra Sari Pematang Reba.
Pihak kepolisian telah melakukan autopsi terhadap jenazah korban pada hari yang sama, Senin (26/5/2025) mulai pukul 17.30 hingga 20.00 WIB.
Autopsi dilakukan oleh tim forensik dari Biddokes Polda Riau yang dipimpin oleh AKBP Suprianto, bersama dr M Tegar Indrayana.
Hasil lengkap dari proses autopsi ini masih dalam tahap analisis oleh tim forensik.
Dia menjelaskan jika hingga kini, penyidik terus mendalami kronologi kejadian dan telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk orangtua korban.
"Penyidik juga sedang mengumpulkan bukti pendukung lainnya untuk memastikan penyebab kematian KB secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dengan mengedepankan scientific investigation," kata Misran.
Diketahui, kejadian tersebut menjadi sorotan masyarakat Indragiri Hulu, terlebih karena menyangkut keselamatan anak di lingkungan sekolah.
Kepolisian mengimbau masyarakat agar tidak terpancing provokasi dan tetap menunggu hasil resmi dari penyelidikan.
Negara harus hadir
Di sisi lain, SETARA Institute memandang dugaan bullying atau perundungan mengakibatkan bocah KB meninggal tersebut sangat memprihatinkan.
Ditambah lagi korban tewas mendapatkan tindakan kekerasan diduga akibat korban menganut agama yang berbeda dari para pelaku.
Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengungkapkan pihaknya mengecam keras terjadinya kasus tragis ini.
Tindakan kekerasan yang berujung pada kematian tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak anak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
"Dan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945," terangnya dalam keterangan pers yang diterima Suara.com, Sabtu (31/5/2025).
Halili menyampaikan jika kasus tersebut menunjukkan bahwa dugaan intoleransi nyata-nyata merasuki generasi sangat muda bangsa ini.
"Intoleransi di lapangan bahkan bukan hanya menimpa anak-anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA), tapi lebih muda dari itu," ujar dia.
Menurut Halili, berdasarkan survei yang dilakukan oleh SETARA Institute pada Februari 2023 menunjukkan bahwa diperlukan pelipatgandaan upaya untuk menghalau paparan intoleransi dan ekstremisme kekerasan dari satuan pendidikan kita.
Meskipun 70,2% dari responden berkategori toleran, 24,2 persen siswa SMA intoleran pasif, 5 persen intoleran aktif, dan 0,6 persen dari mereka terpapar ideologi ekstremisme kekerasan.
Dia menyampaikan bahwa dalam konteks tragedi di Riau, negara tidak boleh abai.
"Negara harus hadir dan mengambil tindakan yang memadai dalam menjamin perlindungan bagi anak dan kelompok minoritas agama atau keyakinan, serta harus memastikan para pelaku dan pihak yang bertanggung jawab diproses secara adil sesuai hukum yang berlaku," harap Halili.