SuaraRiau.id - Perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kemarau bakal dimulai pada Februari dan puncaknya pada Juni dan Juli 2023.
Musim kemarau tahun inipun diprediksi akan lebih kering dan lebih lama dibandingkan 3 tahun sebelumnya.
Kondisi kemarau kering ini akan terjadi di Riau dan sebagian wilayah Sumatera Utara dan Jambi. Artinya, ancaman kebakaran hutan dan lahan sudah ada di depan mata.
Terlebih lagi, Riau, Jambi, dan daerah sekitarnya seolah sudah menjadi langganan bencana kobaran api ini yang menimbulkan asap tak ramah lingkungan.
Khusus di wilayah Riau, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, TNI/Polri, dan pihak swasta juga sudah bersiaga untuk menangkal kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pada awal 2023, di Bumi Lancang Kuning ini sudah dihangatkan oleh kebakaran lahan yang terjadi di Bengkalis, Kampar, Dumai dan Pekanbaru. Berkat kesigapan petugas BPBD dan aparat setempat, nyala api yang masih tergolong kecil itu bisa segera diatasi.
Pada tahun 2015 dan 2018, karhutla Riau melumpuhkan berbagai sendi akibat dari dampak asap yang pekat hingga menyusup ke paru-paru masyarakat.
Sekolah dan perkantoran diliburkan beberapa bulan. Bandara ditutup, warga yang beraktivitas di luar rumah harus menggunakan masker tebal agar partikel-partikel berbahaya asap tidak menembus paru.
Pemprov Riau sendiri telah memetakan 134 kecamatan yang rawan karhutla sehingga daerah ini harus bersiaga mengantisipasinya dengan berbagai persiapan.
Sebanyak 134 kecamatan di Riau yang berisiko tinggi mengalami bencana karhutla, yakni di Kampar sebanyak 13 kecamatan, Indragiri Hilir (19 kecamatan), Rokan Hilir (18 kecamatan), Kuansing (14 kecamatan), Indragiri Hulu (12 kecamatan), Siak (12 kecamatan), dan Pelalawan (12 kecamatan).
Berikutnya, di Kota Pekanbaru (4 kecamatan), Kota Dumai (4 Kecamatan), Kabupaten Rokan Hulu (6 kecamatan), Kepulauan Meranti (9 kecamatan), dan Kabupaten Bengkalis (11 kecamatan).
"Kita harus berupaya mengantisipasi karhutla di Riau sejak dini untuk menekan korban jiwa dan benda," kata Gubernur Riau Syamsuar awal Februari ini dikutip dari Antara.
Karena itu, Pemprov Riau telah bergerak cepat dengan menyiapkan sarana dan prasarana pendukung pencegahan karhutla serta membuat rencana dukungan operasi udara.
Untuk upaya antisipasi, juga dibangun 525 sumur bor, 9.672 sekat kanal, 1.546 embung, pompa pemadam api 817 unit, selang pemadam api 1.499 gulung, dan berbagai alat lainnya. Namun demikian keberadaan peralatan tersebut juga perlu kita cek kembali dan berkoordinasi dengan daerah jika ada kebutuhan yang kurang," kata Syamsuar.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, penanganan karhula harus dilakukan secara sinergis tanpa saling mengandalkan. Begitu ada muncul titik api, maka petugas terdekat segera memadamkannya sehingga api tidak meluas dan sulit dimatikan. Kesadaran masyarakat pun harus ditingkatkan dalam menjaga dan mengawasi lingkungannya.
Sementara, dari analisis aparat kepolisian, permasalahan karhutla dipicu faktor alam dan manusia. Dari faktor alam, kebakaran lahan gambut memang sulit dipadamkan, terlebih lagi kurangnya ketersediaan sumber air untuk pemadaman, serta musim kemarau yang memicu timbulnya titik api akibat gesekan ranting-ranting pohon.
Adapun dari faktor dari manusia, ada oknum warga yang sengaja membuka lahan untuk dibakar. Lalu, adanya oknum masyarakat yang kurang peduli, cenderung menutup-nutupi ada titik api, dan aktivitas pembalakan liar (illegal logging).
Bahkan, ada juga kebakaran lahan yang terjadi di konsesi perusahaan swasta yang memiliki lahan besar.
"Dengan sinergi serta kerja sama instansi terkait dan dibantu peran aktif dalam penanganan karhutla, insya Allah kita bersama dapat mewujudkan Riau bebas asap tahun 2023 ini," kata Kapolda Riau Irjen Pol Mohammad Iqbal.
Selain itu, sejumlah pihak swasta juga bersiaga mengantisipasi karhutla dengan rutin menggelar latihan atau simulasi pemadaman kebakaran lahan. Baru-baru ini sebuah produsen kertas di Siak menggelar simulasi pemadaman kebakaran lahan dengan mengangkut tim reaksi cepat menggunakan helikopter dan menurunkannya di lokasi munculnya api.
Selain itu, helikopter juga bolak-balik mengangkut 5.000 air dan menumpahkannya ke sekitar area kebakaran dengan tujuan supaya api tidak meluas ke daerah lain.
Dengan seringnya kebakaran hutan dan lahan di wilayah Riau, provinsi ini seharusnnya sudah berpengalaman dalam penanggulangannya, termasuk menangkap para pembakar yang sengaja menarik keuntungan dari kejadian ini, baik itu oknum masyarakat maupun pengusaha.
Sudah sekitar 3 tahun ini bencana karhutla di Riau ini tidak parah seperti tahun-tahun sebelumnya. Bisa jadi hal itu "terbantu" dengan adanya pandemi Covid-19 selama 2 tahun, dan musim hujan yang berlangsung lama dari biasanya.
Pada tahun ini, Covid-19 sudah mulai lenyap dan kemarau kering diprediksi terjadi, potensi karhutla pun sudah harus diantisipasi. Dengan pengalaman yang dimiliki, seharusnya karhutla bisa dicegah tanpa harus menyalahkan kondisi alam. (Antara)