"Salah satu alasan utama Kartini akhirnya bersedia menikah dengan lelaki yang telah beristri atau dipoligami, justru karena rasa hormat dan cintanya kepada sang ayah," kata Krisnina (Nina) Maharani, penulis buku Pikiran Kartini.
Kartini, kata Nina, sudah pada titik menanggalkan egoismenya. Dia yang semula hidup pada tataran ideal mulai berpijak pada realitas sosial di sekelilingnya.
"Kartini mencoba berkompromi dengan sejumlah syarat. Dan yang mencengangkan dalam sejumlah suratnya, Kartini justru memuji dan menyanjung suaminya," katanya.
Dalam buku Pikiran Kartini yang terbit pada 2015, dicuplik surat Kartini kepada Abendanon tertanggal 14 Juli 1903.
"Saya telah berjuang, bergulat, menderita dan saya tidak dapat menjadikan nasib celaka ayah dan dengan demikian membawa bencana bagi semua yang saya cintai."
Bagian lain surat itu Kartini menegaskan bahwa dirinya telah berjuang, bergulat, menderita dengan segala sikap kukuhnya saat sang ayah, RM Adipati Sosrodiningrat menjodohkannya dengan Djojoadiningrat.
"Saya tidak dapat menjadikan nasib celaka ayah dan dengan demikian membawa bencana bagi semua yang saya cintai," tulis surat itu.
Hal lain yang tak banyak diungkap, rupanya Kartini pun mengajukan sejumlah syarat kepada calon suami yang akan memperistrinya. Syarat itu antara lain boleh membuka sekolah dan mengajar para putri pejabat di Rembang, dan membawa ahli ukir Jepara ke Rembang untuk mengembangkan kerajinan itu secara komersial.
Syarat lainnya menyangkut upacara pernikahan.
"Dia menolak ada prosesi jalan jongkok, berlutut, mentembah kaki mempelai pria dan akan berbicara dalam bahasa Jawa Ngoko, buku kromo inggil. Ini syarat-syarat yang radikal untuk ukurasa massa itu," ungkap dia.