Adanya wacana-wacana yang berhembus saat ini, menurut dosen muda Universitas Riau ini, dari sudut pandang etika moral, mestinya pejabat publik tidak perlu mendiskusikan itu lagi.
"Sudah berhenti saja di situ, ketua-ketua partai politik yang paham konstitusi berhenti (hentikan wacana tersebut) aja sampai situ, tidak usah lagi menyuarakan soal pengunduran pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden maupun DPR MPR itu yang akan habis di 2024 nanti," jelasnya.
Ia berharap, konstitusi dapat berjalan dengan baik dengan mengikuti mekanisme yang berlaku di Indonesia.
"Mekanismenya di Pemilu 2024 sebagai motor penggerak demokrasi, supaya partisipasi publik itu lebih meningkat lagi," ujarnya.
Menurut Tito, framing dan upaya membangun opini publik tersebut dinilai kurang etis. Itu merupakan salah satu langkah atau semacam masukan kepada MPR-DPR untuk membawa ke sidang-sidang mereka secara internal.
"Sehingga nanti apakah memungkinkan untuk diamandemen undang-undang dasar, ada tujuan dibalik itulah," kata Tito.
Tito berharap, konstitusi dapat berjalan sesuai aturan. Menurut dia, siapapun mereka yang melakukan itu maka sudahilah.
"Kita semua sepakat dengan pendapat banyak orang juga, teman-teman aktivitas hari ini, bahwa setelah 2024, Pak Jokowi itu cocok kita jadikan Bapak Bangsa," ungkapnya.
Di sisi lain, upaya-upaya framing tersebut diduga kuat dimotori oleh orang-orang intelektual yang memiliki kepentingan.
Tito menilai, sudah tentu demikian. Sebab banyak sekali kepentingan orang-orang yang selama ini dekat dengan kekuasaan.