SuaraRiau.id - Ular piton sepanjang 9 meter dilepasliarkan BBKSDA Riau pada Selasa (21/9/2021). Satwa melata tersebut sebelumnya diselamatkan warga Desa Sungai Buluh, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan.
Hewan bernama latin Malayopython reticulatus/Python reticulatus itu, diperkirakan sudah berusia 30 tahun dengan bobot 120 kilogram.
Dalam proses pelepasliaran ini, tim BBKSDA harus menempuh perjalanan masuk ke dalam kawasan yang dituju dengan berjalan kaki menyusuri sungai dan perbukitan sekitar 1 jam.
Menurut Plh Kepala BBKSDA Riau, Hartono, pihaknya menerima satu ekor piton dari seorang warga bernama Amar yang dievakuasinya dari kebun sawit.
"Kronologis kejadian saat itu di perkebunan yang akan diolah. Jika tidak diselamatkan ular akan dibunuh oleh warga, karena warga ketakutan mengingat ukurannya yang sangat besar," jelas Hartono, Rabu (22/9/2021).
Lebih lanjut, Hartono menjelaskan bahwa piton tersebut dilepasliarkan di kawasan konservasi yang jauh dari keramaian penduduk.
"Setelah dilakukan pelepasliaran, ular terlihat sangat bersemangat masuk ke dalam semak untuk kemudian menyatu dengan lingkungan barunya," ujar Hartono.
Sementara itu, Plh Kepala Bidang KSDA Wilayah II, MB Hutajulu menyatakan bahwa ular piton atau ular sanca batik adalah salah satu satwa dengan status kategori tidak dilindungi.
Namun, dalam Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) atau perjanjian internasional yang fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar, jenis ular ini masuk dalam kategori appendiks II.
"CITES adalah satu-satunya perjanjian global yang fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terancam dari perdagangan yang menyebabkan spesimen tumbuhan dan satwa liar tersebut terancam. Artinya satwa ini spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan," ungkap Hutajulu.
Lebih lanjut, ia mengungkpkan bahwa aturan itu berupa adanya pembatasan kuota tangkap atau ambil yang tidak dilindungi yang masuk dalam appendik CITES ataupun non appendiks CITES.
Menurut Hutajulu, adapun dasar dalam penetapan kuota tersebut yaitu berdasarkan Kepmenhut Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan satwa liar.
"Kuota ini ditetapkan oleh Dirjen KSDAE setiap tahunnya berdasarkan rekomendasi dari LIPI dan berlaku untuk satu tahun," tutur Hutajulu.