"Sultan Syarif Kasim II itu di samping seorang pemimpin ataupun penguasa beliau adalah orang yang umaro dan taat beribadah, bahkan beliau sempat jadi khatib di masjid Syahabuddin," kata Muzani.
Said Muzani ingat betul, dahulu sultan memiliki buku untuk berkhutbah dan buku itu sempat dipegang oleh salah satu imam di masjid Syahbudin saat itu.
"Kalau tak salah saya buku itu sama pak Kadi Nontel atau pak Abdul Muthalib," ungkap Muzani lebih jauh.
"Sultan sangat alim sehingga bagi masyarakat Siak beliau merupakan orang yang dianggap memiliki karomah," tambahnya.
Bentuk Masjid Syahabudin itu sendiri sultan mengadopsi gaya campuran Turki dan Eropa.
"Makanya hampir mirip-mirip dengan bangunan Istana Siak karena mengadopsi gaya dari timur tengah," jelasnya.
Untuk bangunan masjid sendiri sejak dahulu tidak ada perubahan, hanya saja beberapa kali dilakukan renovasi namun tidak merubah bentuk.
"Sejak dahulu luasnya juga segini, warnanya juga sama, tidak ada yang berubah, paling yang diganti seperti plafonnya karena rusak dimakan usia," kata Muzani.
Untuk lampu-lampu di dalam masjid, kata Muzani lebih jauh, sekarang ini sudah bentuk yang baru semua.
"Dahulu lampunya tak dari listrik tapi dari minyak tanah, sama seperti yang di Istana Siak, tapi jatuh dan runtuh," ungkapnya.
Untuk bagian lantai, masjid Syahabuddin tidak menggunakan keramik pada saat itu.
"Dahulu di semen halus saja, tapi sangat sejuk, saya ingat waktu kecil saat puasa sering kami tidur di dalam sini karena sejuk," beber Said Muzani mengenang masa kecilnya.
Muzani berharap, kedepan masjid Syahabudin bisa memiliki menara tempat orang adzan zaman dahulu.
"Setidaknya itu sebagai tanda bahwa zaman dahulu itu ada menara untuk adzan memanggil orang salat," harapnya.
Saat ini, Masjid Raya Syahabuddin tidak hanya digunakan sebagai tempat beribadah, lebih dari itu masjid ini juga menjadi salah satu situs cagar budaya. Masjid Raya Syahabudin terletak berdampingan dengan komplek pemakaman Sultan Syarif Kasim II beserta keluarganya.
Kontributor : Alfat Handri