Kisah Madrasah Transgender, Siswa hingga Kepala Sekolahnya Semua Waria

Kepala Sekolah Rani yang juga turun menjadi tenaga pengajar itu memiliki sekitar 25 siswa yang rata-rata waria.

Eko Faizin
Rabu, 24 Maret 2021 | 15:47 WIB
Kisah Madrasah Transgender, Siswa hingga Kepala Sekolahnya Semua Waria
Sebuah madrasah transgender khusus dibangun untuk para waria dan lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). di Pakistan. [Dok Aljazeera]

SuaraRiau.id - Sebuah madrasah transgender khusus dibangun untuk para waria dan lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT).

Madrasah tersebut terletak di salah satu dari negara Islam terbesar di dunia, Pakistan.

Sekolah itu terletak di pinggiran Islamabad.

Madrasah transgender itu merupakan satu-satunya sekolah Islam di negara tersebut. Madrasah di Pakistan ini disebut-sebut menjadi tonggak penting bagi komunitas LGBT di negara tersebut.

Madrasah yang tidak disebutkan namanya itu, mengutip dari laman Aljazeera, dipimpin oleh seorang kepala sekolah seorang waria bernama Rani Khan (34).

Kepala Sekolah Rani yang juga turun menjadi tenaga pengajar itu memiliki sekitar 25 siswa yang rata-rata waria.

Setiap pagi terlihat sekelompok waria berjalan beriringan menuju tempat yang diyakini sebagai madrasah khusus transgender pertama di Pakistan.

Sekilas usia para siswanya masih terbilang muda sekitar 16-19 tahun. Kepada Aljazeera, Rani menjelaskan bahwa siswanya rata-rata korban bullying yang terlantar karena hidup sebagai tunawisma.

“Di Pakistan, transgender dikucilkan. Meskipun tak ada larangan resmi untuk belajar di madrasah atau sekolah agama Islam lainnya, atau salat di masjid, namun mereka tak diterima,” ujar Rani dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com, Rabu (24/3/2021).

Rani juga mengatakan ia kerap melihat para transgender remaja yang dikucilkan dan bertahan hidup.

“Tak ada yang mau menerima mereka sehingga banyak yang memilih jalan salah,” ujarnya.

Banyak di antara mereka berusaha bertahan hidup dengan menggeluti dunia prostitusi, atau mengemis dan menari. Sebagai seorang waria, Rani Khan menceritakan betapa sulitnya hidup di Pakistan.

“Kebanyakan keluarga tidak menerima orang transgender. Mereka mengusir orang-orang transgender dari rumah,” tutur Khan.

“Mereka mengadakan pesta-pesta, mereka mulai menari dan mengemis, dan melakukan perbuatan keliru lainnya.” sambung dia.

Cerita Khan bahwa alasan membangun madrasah transgender salah satunya karena dirinya yang dulu juga kerap dirundung dan tak punya kesempatan berkembang.

Khan bahkan tidak diakui oleh keluarganya sendiri pada usia 13 tahun dan terpaksa mengemis. Ia kemudian bergabung dengan kelompok transgender pada usia 17 untuk menari di pesta pernikahan atau acara-acara lain untuk mencari nafkah.

Meski begitu, Khan terinspirasi untuk mendalami kembali agamanya setelah bermimpi tentang seorang teman warianya yang sudah meninggal, yang memintanya untuk melakukan sesuatu untuk komunitas mereka.

Khan pernah belajar membaca Alquran di rumah, dan mendalami pendidikan agama Islam di sejumlah madrasah, sebelum membuka madrasah barunya yang terdiri dari dua ruang itu pada Oktober lalu.

“Saya menanggung semua biaya madrasah dari kantong saya sendiri. Ini merupakan uang yang saya peroleh ketika dulu saya biasa menari dan mengemis.” kata Khan.

“Saya gunakan uang itu untuk menjalankan madrasah ini. Saya menghabiskan semua tabungan. Kami belum menerima dukungan keuangan dari pemerintah sejauh ini.” urai Khan.

Meski Khan tidak menyebutkan berapa biayanya mengoperasikan madrasah tersebut, hingga kini, sekitar delapan siswanya tinggal di madrasah itu secara permanen.

Sementara itu, yang lainnya datang sekadar untuk belajar selama beberapa jam sehari.

Khan mengaku dirinya mengajari para siswanya cara menjahit dan membordir, dengan harapan pada akhirnya dapat mengumpulkan uang dengan menjual pakaian.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini