SuaraRiau.id - Aturan siswi wajib berjilbab di Kota Padang menuai pro kontra karena dianggap diskriminatif, lantaran seolah turut dipaksakan kepada siswi non muslim.
Aturan yang dirilis sejak era eks Wali Kota Padang, Fauzi Bahar belakangan geger.
Terkait itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan aturan yang berlaku di Padang salah dan menyalahi HAM.
Sebab di Pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas, pendidikan sejatinya digelar secara demokratis, serta tak diskriminatif. Para penggelar pendidikan juga wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa.
Atas dasar itu, di kesempatan live bersama Fauzi Bahar, dia kemudian lantang menjabarkan aturan tersebut.
“Saya akan mengingatkan kembali. Itu jelas ada di UU Sisdiknas, disebutkan seperti itu. Artinya apa, artinya demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif,” kata Beka dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com, Senin (25/1/2021).
Beka lantas menyinggung aturan mantan Wali Kota Padang Fauzi Bahar dengan alasan kearifan lokal di sana. Bukan bermaksud menyudutkan, namun Beka menganalogikan, bagaimana jika kearifan lokal juga terjadi di wilayah yang banyak non muslimnya.
“Kalau tadi berdasarkan kearifan lokal, saya khawatir kalau kemudian atas dasar itu di daerah lain yang kebetulan mayoritas non muslim atau bukan beragama Islam, kemudian melarang orang menggunakan jilbab. Itu juga tindakan yang diskriminatif,” kata Beka memberi contoh.
Atas hal itulah Beka menyatakan, sudah seharusnya aturan berjilbab pada siswa tidak bersifat dipaksa. Sebab itu adalah hak, tidak boleh dilarang, dan tidak boleh pula dipaksakan.
Kata Beka, penggunaan jilbab datang dari kesadaran pribadi, dari pemahaman, dan pengetahuan yang bersangkutan tentang kewajiban dalam agama.
Beka bilang, hal yang sama sebenarnya juga terpantau terjadi di Bali. Di sana, ada pula idiom-idiom paksaan bagi wanita ada baiknya tak berjilbab.
“Itu juga sama diskriminatif, kendati menggunakan kata-kata halus.” ujar Beka.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama eks Wali Kota (Wako) Padang, Fauzi Bahar tak menampik bahwa aturan soal memakai jilbab bagi siswi sekolah itu dikeluarkan saat dirinya menjabat.
Adapun alasannya saat itu karena jilbab dianggap sebagai sebuah kearifan lokal.
Dia membantah jika aturan berjilbab itu adalah bentuk paksaan kepada siswi non muslim. Karena, katanya, aturan ini sudah berjalan 15 tahun. Dia heran mengapa baru sekarang diributkan.
Apalagi, katanya, banyak sekali orangtua murid di Padang tak keberatan dengan imbauan itu.
“Ini adalah kearifan lokal, bapak enggak ngerti. Orangtua mau kok. Ini Pak beka baru khawatir, sementara ini sudah berjalan 15 tahun. Kekhawatiran bapak tidak terbukti,” ujar Fauzi.
“Kalau cuma satu dalam 1 juta, kalau kita tanam 1000 pohon lalu matinya 125 batang, itu dianggap sukses pak. Apalagi ini 1 banding 1 juta. Jadi bapak ini enggak ngerti tentang bagaimana kearifan lokal ini,” tambahnya.
Adapun imbauan ini, kata dia, menyasar pada kalangan remaja berusia puber. Dia kembali menekankan, jika berjilbab seolah bukan cuma bicara agama, namun sudah menjadi tradisi. Sehingga, mereka yang non muslim pun saat bersekolah kemudian menyesuaikan diri.
“Mereka karena minoritas di Sumatera Barat, mereka menyesuaikan. Kalau kopiah itu sempit, bukan kepalanya yang dipahat, kopiahnya yang menyesuaikan kepalanya,” katanya.
Dia justru menantang agar Komnas HAM ikut terjun ke lapangan untuk membuktikan apakah ada unsur paksaan soal imbauan siswi berjilbab. Karena, di tingkatan universitas pun, semua sudah memahami untuk melakukan penyesuaian menggunakan pakaian sopan ketika di luar rumah.
“Hanya kearifan lokal, karena sudah terbiasa mereka. Jadi jangan Anda menekankan soal Pasal 4 dan lain-lain tadi, enggak benar itu. Kami enggak mau kucing yang mau makan tulang, kambing ikut mengomentari kalau kucing suka tulang,” terangnya.