SuaraRiau.id - Kota Pekanbaru Provinsi Riau menyimpan jejak sejarah yang menarik, di antaranya adalah peninggalan berarsitektur khas yang hingga saat ini masih berdiri.
Peninggalan bersejarah ini nyaris terlupakan, namun cerita di balik kejayaan masa itu masih tersimpan menawarkan kenangan dan romantisme masa lalu.
Jejak bersejarah dapat ditelusuri di sepanjang kawasan tepian Sungai Siak, menyusur dari hulu ke hilir, mulai dari Senapelan, Pasar Bawah, hingga hilirnya ke Tanjung Rhu Pekanbaru.
Jalur ini dahulu merupakan pusat bagi denyut nadi kota dan sentra niaga di masa awal berdirinya.
Baca Juga:Riau dan Sumbar Terbanyak Sumbang Positif Covid-19 di Sumatera
Berikut ini adalah beberapa peninggalan, berdasarkan data yang diambil dari Pekanbaru Heritage Walk (PHW), dan ditulis kembali Suara.com, Kamis (15/10/2020).
1. Rumah Singgah Sultan Siak
Rumah Tuan Kadi atau lebih dikenal dengan Rumah Singgah Sultan didirikan sekitar tahun 1895 oleh H Nurdin Putih, mertua dari Tuan Kadi H Zakaria.
Dikenal sebagai Rumah Singgah Sultan, karena saat Sultan Syarif Kasim II melakukan perjalanan ke Pekanbaru dari ibu kota Kesultanan Siak di Siak Sri Indrapura akan singgah terlebih dahulu ke rumah ini.
Kemudian, Sultan akan berjalan menuju Masjid Nur Alam (sekarang Mesjid Raya Pekanbaru) melewati Hasyim Straat, sebuah jalan kecil yang berada di samping kiri masjid.
Selama berada di Pekanbaru, Sultan akan menginap di Istana Hinggap.
Baca Juga:Data dari Perusahaan yang Lapor, Lebih 900 Karyawan di Pekanbaru Dirumahkan
2. Istana Hinggap
Rumah yang dijuluki Istana Hinggap ini juga merupakan kediaman Tuan Kadi Haji Zakaria, seorang mufti Kesultanan Siak pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim, dan yang mengajarkan Sultan Syarif Kasim II perihal ilmu agama Islam.
Menjadi tempat menginap bagi Sultan Syarif Kasim II selama berada di Pekanbaru, sehingga rumah ini memiliki sebuah kamar khusus untuk sultan saat ia menginap di rumah sang guru.
Rumah bergaya Indische ini dibangun sekitar awal 1900-an, di masa agresi militer Belanda ke II tahun 1949.
Belanda menjadikan rumah ini sebagai penjara dan rumah sakit. Rumah ini juga pernah menjadi tempat berlangsungnya rapat pembentukan Provinsi Riau.
Di dalamnya masih tersimpan foto-foto Sultan Syarif Kasim II dan Tuan Kadi, berbagai benda peninggalan serta hadiah, seperti kursi dari Laksamana Raja Di Laut kepada Sultan Siak.
3. Rumah Tinggi (Rumah Tenun)
Sedikit ke hilir dari Rumah Singgah Sultan, terdapat sebuah rumah diperkirakan dibangun pada 1887 milik H Yahya, seorang tauke getah ternama di masa itu.
Selama perjuangan merintis kemerdekaan rumah ini banyak memiliki peranan bagi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, sejak masa prakemerdekaan hingga masa penumpasan pemberontak PRRI di Sumatera Bagian Tengah, sebagai gudang logistik dan dapur umum, serta basis pejuang Fisabilillah.
Rumah ini pernah pula didiami salah seorang menantu H Yahya yakni KH Muhammad Syech, seorang imam besar Masjid Nur Alam (sekarang Masjid Raya Pekanbaru).
KH Muhammad Syech pernah juga menjabat sebagai kadi Sultan Siak pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim.
Semasa ditempati Hj Ramnah Yahya, rumah ini dijadikan pula sebagai tempat mengajar anak-anak mengaji, menenun dan menokat.
Saat ini, rumah ini dimanfaatkan bagi ibu-ibu dan remaja putri di Kampung Bandar Pekanbaru untuk kegiatan membuat tenun Siak.
Pengunjung dapat melihat langsung proses menenun dan membeli berbagai produk tenunan yang dikerjakan oleh perajin sebagai souvenir.
4. Terminal Lama Pekanbaru
Tak jauh dari Rumah Singgah Sultan, terdapat sebuah konstruksi halte, satu-satunya bangunan yang tersisa dari terminal lama Pekanbaru, antara tahun 1950-1970.
Terminal yang terletak di tepian Sungai Siak ini pada masanya menghubungkan bermacam moda transportasi darat dan air, dari dan menuju ke Pekanbaru.
Peninggalan halte tersebut menjadi saksi bisu akan kejayaan PO Bus seperti Sinar Riau dan Batang Kampar yang saat itu membawa penumpang menuju Sumatera Barat, Duri serta Dumai.
5. Pelabuhan dan Gudang Pelindo
Gudang ini merupakan saksi bisu kejayaan perdagangan antara Sumatera Timur/Pekanbaru ke Singapura.
Pelabuhan lama Pekanbaru dibangun oleh Belanda tahun 1920-an. Saat itu, pelabuhan ini disinggahi kapal-kapal dari KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij/Perusahaan Pelayaran Belanda).
Kapal-kapal ini membawa rupa-rupa hasil alam dari Tapung, Payakumbuh, dan dari berbagai wilayah Sumatera Tengah lainnya lalu kemudian dibawa ke Singapura.
Di dalam salah satu foto hitam putih di Leiden, memperlihatkan salah satu kapal dari KPM tujuan Afrika Selatan via Singapura singgah di Pelabuhan ini.
Di masa kejayaannya, gudang-gudang ini penuh dengan berbagai komoditas dan barang-barang yang akan dikirim menuju Singapura dan kota-kota lain melalui Selat Melaka.
6. Tugu Nol Kilometer
Terletak dekat Gudang Pelindo, tugu ini merupakan patok nol kilometer sebagai penanda pembuatan jalan penghubung antara Pekanbaru-Bangkinang-Payakumbuh.
Tugu Nol Kilometer Pekanbaru ini dibuat oleh Belanda pada tahun 1920.
Di masanya, jalan penghubung ini menjadi urat nadi perdagangan antara pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera saat itu.
Barang-barang dari pantai Barat Sumatera dibawa menuju Pelabuhan lama (Pelindo) Kapal kapal dagang dari KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) seminggu sekali berlayar dari Pekanbaru menuju Singapura/Tumasik.
Dari Singapura, barang-barang dari Sumatera dikirim ke berbagai negara. Pembangunan jalan yang ditandai pembuatan patok ini, mengawali pesatnya perkembangan Kota Pekanbaru.