Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Selasa, 21 Januari 2025 | 18:44 WIB
Direktur Paradigma, Riko Kurniawan. [Suara.com/Rahmat Zikri]

SuaraRiau.id - Rencana pemerintah yang akan membuka lahan hutan seluas 20 juta hektare (ha) memicu kekhawatiran berbagai pihak di tengah upaya global mengurangi emisi karbon.

Salah satu kekhawatiran itu datang dari Direktur Paradigma, Riko Kurniawan yang menilai kebijakan ini bertentangan dengan komitmen Indonesia terhadap penurunan emisi karbon dan target net-zero emissions.

"Pembukaan lahan sebesar ini tidak hanya mengancam keseimbangan ekosistem, tetapi juga komitmen iklim yang telah dibangun, baik secara internasional maupun nasional," kata Riko kepada awak media di Pekanbaru, Selasa (21/1/2025).

Ia menjelaskan bahwa sektor hutan dan lahan memiliki peran strategis dalam menyerap emisi karbon.

Baca Juga: Deteksi Perambah Hutan, Polri Bakal Gunakan Aplikasi Lancang Kuning Karya Polda Riau

Namun, jika pembukaan hutan ini tidak ditinjau ulang, emisi yang dihasilkan akan jauh melampaui kapasitas serapan karbon alami sehingga akan berakibat pada gagalnya target Indonesia mencapai net-zero emissions pada 2030.

Riko juga menyoroti dampak ekologis lain, seperti percepatan kehilangan keanekaragaman hayati, peningkatan risiko banjir, kekeringan, hingga potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Berdasarkan data Sipongi KLHK, pada 2023, kebakaran hutan mencapai 1,16 juta ha, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan pada tahun 2024 pemerintah dinilai cukup berhasil mengendalikan karhutla.

"Pemerintah seharusnya lebih fokus pada pemulihan kawasan hutan rusak yang sudah ada, bukan malah membuka hutan baru. Data nasional mencatat 3,3 juta hektare hutan telah dialihfungsikan secara ilegal. Jika ini direbut kembali dan dimanfaatkan secara optimal, program ketahanan pangan, energi, dan air bisa tetap tercapai tanpa menambah kerusakan," jelas Riko.

Lebih lanjut,  ia juga mengingatkan bahwa pembukaan hutan baru dapat mengganggu berbagai komitmen yang telah dijalankan, seperti moratorium izin pembukaan hutan dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 dan Nomor 5 Tahun 2019.

Baca Juga: Karhutla Terjadi di Daerah Riau, Pemadaman Dibantu Heli Water Bombing

Selain itu, kebijakan Forestry and Other Land Use (Folu) Net Sink 2030 yang bertujuan menyerap 140 juta ton karbon dioksida per tahun terancam gagal.

Pada COP29 di Azerbaijan, Indonesia telah menawarkan komitmen untuk menghasilkan 200 juta ton cadangan karbon dari sektor hutan dan lahan tiap tahun, disertai program reforestasi di 12,7 juta ha lahan kritis.

"Namun, jika pembukaan 20 juta hektare tetap berjalan, upaya ini akan sia-sia," ujar Riko.

Dalam penyampaiannya sebagai perwakilan Paradigma, dia mengusulkan langkah-langkah inovatif seperti agroforestri dan rehabilitasi hutan kritis untuk mendukung pembangunan ekonomi tanpa mengorbankan lingkungan.

Kebijakan ini sejalan dengan peraturan seperti PermenLHK 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari.

"Kita harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang," jelas Riko.

"Masih banyak wilayah yang perlu dipulihkan dari pada membuka lahan baru dengan mengorbankan hutan. Yang kita ditakutkan rencana ini bisa jadi cara pihak terkait menjual izin ke korporasi tentu dengan menjual izin baru lagi," sambungnya.

Kontributor: Rahmat Zikri

Load More