Eko Faizin
Senin, 13 Desember 2021 | 12:05 WIB
Ilustrasi pelecehan seksual di kampus. [Suara.com/Rochmat]

SuaraRiau.id - Sudah sebulan lebih, pengakuan mahasiswi Unri mendapat pelecehan seksual di kampus menggegerkan Bumi Lancang Kuning. Keberanian korban pelecehan dan pihak yang mengawal proses hukum pun melewati jalan terjal.

RATUSAN mahasiswa Universitas Riau (Unri) menggeruduk Gedung Rektorat dan menyegel ruang Rektor Unri pada Senin (6/12/2021).

Gerakan bersama itu dilakukan sebagai bentuk tuntutan minta ketegasan terkait kasus dugaan pelecehan seksual Dekan FISIP Unri, SH terhadap mahasiswi saat bimbingan skripsi.

Namun, mahasiswa tak bisa menemui Rektor Unri dan jajarannya lantaran sedang tugas ke Jakarta. Hal itu membuat ruang Rektor Unri dirantai dan digembok oleh mahasiswa.

Ditemui terpisah, Ketua Tim Advokasi Komahi Unri, Agil Fadlan mengungkapkan bahwa penyegelan ruang itu bakal berlangsung sampai Rektor Unri membuat keputusan terkait penonaktifan tersangka, SH sebagai dekan.

"Aksi mahasiswa itu sudah yang ketiga kali," jelas Agil, Senin (6/12/2021) malam.

Dalam penuturannya, ternyata aduan dugaan pelecehan seksual di kampus Unri yang diterima pihaknya bertambah lima orang dengan oknum yang sama.

"Namun, cuma satu yang mau speak up dan itu pas momen kementerian (Kemendibudristek) turun (datang)," ungkap dia.

Sementara di pihak lain yang membuka aduan yang sama, Agil tak bisa merinci. Diketahui, yang membuka aduan selain Komahi Unri, ada Bahana Mahasiswa dan BEM Unri.

Selain upaya itu, mahasiswa juga mengirimkan puluhan surat ke Mendikbudristek Nadiem Makarim mendorong agar kasus predator seks di kampus segara diproses dengan cepat.

Agil dan rekan mahasiswa yang lain berharap kasus itu segera selesai, walaupun mereka menyadari penanganan proses hukum di kampusnya tidak mudah.

Saat disinggung soal bagaimana nasib akademiknya nanti, ia mengaku ada ketakutan. Namun, mereka masih memegang janji kampus yang takkan mengganggu proses akademik korban dan para mahasiswa yang mengawal kasus pelecehan.

Dirinya bersama teman yang lain, berharap juga ada kepastian hukum agar proses belajar mengajar di kampus menjadi tenang. Salah satunya dengan penahanan tersangka SH.

"Mengharapkan penahanan (tersangka SH)," ucapnya.

Terkait tuntutan yang mahasiswa dalam aksi unjuk rasa terakhir, pihak BEM Unri, Sandi mengungkapkan bahwa rektorat belum menyanggupi dengan dalih tak ada aturannya.

Sandi, Senin (13/12/2021), juga menginformasikan bahwa ruangan Rektor Unri yang sebelumnya disegel mahasiswa sudah dibuka pada Kamis (9/12/2021) lalu.

Datangi Kemdikbudristek
Vice Mayor Komahi Unri, Voppi Rosea Bulki menggelar aksi bentang poster di Kantor Kemdikbudristek Jakarta, Kamis (9/12/2021).

Voppi bersama rekannya Surya mendatangi Kantor Kemdikbudristek untuk permintaan audiensi.

"Besar harapan kami dengan kritik yg sudah kami berikan di depan halaman Kemendikbud, Pak Menteri (Nadiem Makarim) menanggapi kasus ini dengan serius. Karena kasus pelecehan seksual di Unri merupakan kasus pertama yang menggunakan Permendikbud," ungkap Voppi, Kamis (9/12/2021).

Tak hanya meminta audiensi, Voppi membentangkan poster tuntutan kepada Mendikbudristek Nadiem Makarim agar serius dengan kasus tersebut.

Poster itu juga bentuk kekecewaan atas alotnya penanganan kasus pelecehan seksual oleh pimpinan kampus Unri.

"ini juga baru kritik pertama yang kami berikan langsung ke Jakarta, harapan kami pak menteri tidak perlu dikritik berulang kali dan dihadirkan masa lebih banyak untuk mengambil sikap khusus ke kasus Unri," tegas dia.

Dugaan ancaman
Penuturan seorang mahasiswa yang ikut terlibat dalam proses pengawalan kasus ini mengaku mendapat sejumlah tekanan. Hal itu disampaikan Eman (nama samaran).

Dalam pengakuannya, sejumlah rekannya ada beberapa kali mendapat ancaman mulai dari verbal hingga doxing dari oknum.

"Misalnya 'kutandai kau ya' dan 'dicari kosnya'," jelasnya.

Gara-gara itu, para mahasiswa ini menjaga diri dengan tidak bepergian sendiri-sendiri dan saat ini lebih waspada.

Selain para mahasiswa, korban mahasiswi Unri juga mendapat perlakukan berupa doxing. Penuturan Eman, foto korban dibuat kolase berdampingan dengan gambar hewan.

Namun, Eman menganggap bahwa hal tersebut hanya untuk memperkeruh suasana pihak yang tak bertanggungjawab dan membuyarkan fokus perjuangan mereka.

Di luar itu, sejumlah tuduhan dilayangkan kepada para mahasiwa yang fokus mengadvokasi korban pelecehan seksual di kampus, termasuk dituding ditunggangi unsur politik.

Berkas SH belum lengkap
Pasca SH ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Riau, berkas kasus tersebut bergulir di Kejaksaan Tinggi atau Kejati Riau. Namun hingga saat itu, meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, SH belum juga ditahan.

Kepala Bidang Humas Polda Riau, Kombes Pol Sunarto menjelaskan, bahwa saat ini penyidik Polda Riau sedang melengkapi kembali berkas perkara sesuai permintaan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, berkas itu sudah dilimpahkan ke Kejati Riau pada 1 Desember 2021.

"Penyidik melengkapi berkas perkara sesuai permintaan JPU. Soal penahanan itu independensi penyidik yang tidak bisa diintervensi," kata Kombes Sunarto, Jumat (10/12/2021).

Meski demikian, tersangka SH mesti melapor dua kali dalam seminggu.

"Yang bersangkutan wajib lapor seminggu 2 kali," tuturnya.

Sementara itu, Asisten Intelijen Kejati Riau, Raharjo Budi Kisnanto menyebut, bahwa berkas yang telah dilimpahkan Polda Riau dikembalikan ke penyidik untuk disempurnakan sesuai dengan petunjuk

"Berkas dikembalikan ke penyidik (P 18) untuk disempurnakan dengan beberapa petunjuk (P 19)," kata Raharjo.

Menurutnya, sejak dikembalikan tersebut, ada waktu 14 hari guna menyempurnakan berkas perkara.

"Menurut KUHAP, penyidikan tambahan guna menyempurnakan berkas perkara selama 14 hari," jelasnya.

Pengacara korban, dari LBH Pekanbaru Rian Sibarani menjelaskan, bahwa saat ini pihaknya hanya sebatas mengetahui berkas sudah dilimpahkan ke Kejati, namun belum mendapatkan informasi P21.

"Untuk kasus yang di Unri sudah dilimpahkan ke Kejati Riau, kita belum dapat informasi terkait P21," kata dia

Mengenai penahanan tersangka, Rian berpandangan bahwa itu sebenarnya subyektif penyidik. Namun menurut pihaknya, tersangka mesti ditahan lantaran beberapa hal.

"Kewenangan penahanan itu sebenarnya Subjektif Penyidik. Kenapa harus ditahan? Pasal 21 ayat 1 KUHAP, khawatir melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana," ungkap Rian.

Menurut Rian, penahanan hanya dapat dilakukan pada pasal 21 ayat 4, ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih.

"Tapi menurut kita, tersangka harus ditahan, karena tersangka masih dosen aktif yang mempunyai jabatan dan kuasa di kampus tersebut, kemudian tersangka dengan jabatan dan kuasanya karena tidak ditahan kekhawatirannya dia dapat melakukan apa saja yang menguntungkan dia untuk menghambat proses hukum yan sedang berlangsung," tuturnya.

Kemudian, dijelaskannya, bahwa kekhawatirannya selanjutnya adalah dia akan melakukan upaya yang akan menyudutkan penyintas.

"Seperti yang sering sering terjadi, penyintas ketika bersuara maka akan rentan disudutkan, dikriminalisasi, diintimidasi dan lain-lain," kata Rian.

Dijelaskannya, saat ini kondisi korban masih dalam tahap pemulihan dan belum beraktivitas di kampus lantaran juga dalam tugas akhir kuliah.

"Korban masih pemulihan. Masih ada pendampingan psikis, dia belum ngampus karena kan juga tinggal tugas akhir, tapi sudah ada komunikasi dengan dosen pembimbing, karena dosen pembimbing sudah diganti," ungkapnya.

Di sisi lain, sepanjang tahun 2021, LBH Pekanbaru sendiri telah menangani 3 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Unri

Rian menjelaskan, 3 kasus kekerasan seksual yan terjadi di antaranya 1 kasus dengan terduga pelaku statusnya mahasiswa dan korbannya sampai 13 orang mahasiswi.

"Kemudian 1 kasus dengan terduga pelaku juga mahasiswa dan 1 kasus lagi terduga pelakunya mahasiswa dan korban mahasiswi itu yang terjadi kampus Unri," ujarnya.

Maka demikian, sebagai pengemban hukum, LBH Pekanbaru mendesak DPR RI untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), tentunya dengan memperhatikan dan mengedepankan kondisi korban serta hak-hak korban dapat dipenuhi.

"RUU TPKS juga dapat menjamin agar tidak kembali terjadi kekerasan seksual dimana pun dan oleh siapapun," tegasnya.

Sahkan RUU TPKS
Direktur Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Riau, Herlia Santi mengungkapkan bahwa selama ini banyak kasus kekerasan seksual banyak yang terungkap.

Hal itu, salah satunya kurang alat bukti, malu dan takut sehingga pihak korban dan keluarga menyelesaikan sendiri.

Ada kasus diselesaikan dengan cara dinikahkan, antara korban dan terduga pelaku. Namun tidak menutup kemungkinan akan muncul kasus kekerasan baru misalnya diceraikan, tidak menjamin masalah selesai.

Senada dengan LBH Pekanbaru, Santi mendorong agar RUU TPKS disahkan agar bisa mengakomodir korban. Supaya korban tidak menjadi korban lagi dan yang paling penting pelaku kekerasan seksual mendapat efek jera.

"Tapi poin utamanya adalah betul-betul ada efek jera ada pelaku, tidak ada ambigu," tegasnya.

Menunggu ketegasan Unri
Meski sudah tersangka, dekan SH disebut masih aktif di kampus. Ia bahkan masih menandatangi surat edaran (SE) terkait bimbingan skripsi di lingkungan FISIP Unri.

Surat edaran yang ditandatangi 25 November 2021 tersebut, guna mengimplementasikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 terkait kekerasan seksual.

Dalam surat tersebut, semua dosen FISIP Unri agar melakukan bimbingan skripsi dengan mahasiswanya di ruangan yang telah disediakan.

Hal itu berlaku untuk semua, tak terkecuali bagi pimpinan baik Dekan dan para Wakil Dekan yang memiliki ruangan sendiri.

Mahasiswa menyatakan surat kebijakan itu memang baik, namun kontradiktif. Di mana surat itu dikeluarkan oleh SH sendiri yang menjadi tersangka kasus pelecehan seksual.

Gubernur BEM FISIP Unri, Muhammad Abdul Yazid menyayangkan terkait surat edaran yang ditandatangani dekan tersangka pelecehan seksual, SH.

Wakil Rektor II Unri, Sujianto sebelumnya mengatakan, kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa salah satu mahasiswinya telah mencoreng nama kampus tersebut.

Ia menyebut bahwa pihaknya telah mendengar dan membaca terkait dengan kasus ini di media sosial.

Sujianto merasa sedih dan memalukan lantaran tidak hanya menjadi bahan omongan secara regional, bahkan sampai tingkat nasional.

"Karena kami susah menaikkan nama Unri, tapi kasus ini malah mencoreng nama baik kita. Minggu lalu kami baru saja rapat untuk membentuk satgas antipelecehan," katanya pada Jumat (5/11/2021).

Pihak Unri kemudian membuat Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengawal kasus pelecehan seksual mahasiswi tersebut.

Terjadi di kampus lain
Berdasarkan penelusuran tim di lapangan, kasus dugaan pelecehan seksual juga ternyata terjadi di luar kampus Unri. Sebuah cerita terungkap yang menyebut bahwa peristiwa serupa terjadi di sebuah kampus ternama di Riau.

Penuturan sumber yang tak mau disebut namanya, dugaan pelecehan itu terjadi saat si mahasiswi menggelar ujian kompre. Sang oknum dosen juga disebut memegang bagian tubuh mahasiswi tersebut.

Namun, dari sumber tersebut didapat informasi, terduga korban pelecehan seksual belum mau bersuara lantaran dengan sejumlah pertimbangan.

Liputan: Tim SuaraRiau.id

Load More