Namun hasil dari usaha perkebunan kerap gagal karena gangguan gajah sehingga masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar.
Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005.
Hal inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif baik dari perorangan hingga cukong dalam kawasan TNTN.
Berdasarkan laporan EoF yang sama, Kawasan Hutan Tesso Nilo merupakan wilayah kelola bagi 19 kelompok hak ulayat.
Baca Juga:WALHI Riau: Penertiban Kawasan TNTN Harus Perhatikan Aspek Pemulihan
Perlu diketahui, pada saat penetapan kawasan konservasi TNTN, telah ada enam desa terbangun di lokasi tersebut.
Keenam desa itu yakni: Desa Air Hitam, Desa Lubuk Batu Tinggal, Desa Simpang Kota Medan, Desa Lubuk Kembang Bunga, Desa Kesuma, dan Desa Segati.
Barulah pada 2007, terjadi pemekaran satu desa bernama Desa Bagan Limau.
Perambahan pasca penetapan TNTN berlanjut pada areal kerja dua izin HPH yaitu PT Siak Raya Timber (SRT) dan PT Hutani Sola Lestari yang tidak aktif dan kemudian dicabut.
Selain itu, pasca 2004 juga tercatat ada satu aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit (PT Inti Indosawit Subur) dan lima perusahaan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di area zona buffer atau sekitar TNTN yang kemungkinan besar turut berkontribusi pada terjadinya perambahan di kawasan TNTN, seperti yang dilakukan PT RAPP.
Baca Juga:Ribuan Massa Aksi TNTN Tolak Relokasi: Negara Harus Bertanggung Jawab
EoF menyebut dalam laporan Kondisi Usulan dan Strategi Penanganan Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo tahun 2010, penggunaan lahan di lokasi TNTN oleh masyarakat sejatinya telah berlangsung sejak 1999, sebelum perubahan fungsi areal ini menjadi kawasan konservasi.
Aktivitas yang dilakukan berupa persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet hingga akhirnya siap untuk ditanam.
Namun hasil dari usaha perkebunan ini dinilai tidak sesuai harapan sehingga masyarakat mulai menjual lahan tersebut kepada pihak luar.
Jual beli ini mulai dilakukan masyarakat sejak tahun 2005.
Hal ini yang kemudian menjadi pintu gerbang perambahan hutan secara masif baik dari perorangan, cukong, hingga korporasi.
Selain soal terbuka akses TNTN karena adanya perizinan kehutanan di-buffer, hal lain yang membuat laju alih fungsi hutan alam menjadi kelapa sawit diakibatkan dua hal.