Bocah SD di Riau Tewas Dibully Diduga gegara Beda Agama, SETARA: Negara Harus Hadir

Dia menyampaikan bahwa dalam konteks tragedi di Riau, negara tidak boleh abai.

Eko Faizin
Sabtu, 31 Mei 2025 | 16:22 WIB
Bocah SD di Riau Tewas Dibully Diduga gegara Beda Agama, SETARA: Negara Harus Hadir
Bocah SD di Riau Tewas Dibully Diduga gegara Beda Agama, SETARA: Negara Harus Hadir. [Antara]

SuaraRiau.id - Kasus kematian bocah 8 tahun, berinisial KB warga Kelurahan Pangkalan Kasai, Kecamatan Seberida, Indragiri Hulu, Riau menyita perhatian publik.

Siswa kelas 2 SD tersebut meninggal diduga tak wajar lantaran disebut dianiaya teman-teman sebayanya. Sebelum mendapatkan kekerasan fisik, korban terlibat cekcok dengan sejumlah rekan.

Orangtua korban mengambil pun langkah hukum karena sang anak sebelum meninggal diduga dipukuli kakak kelas. Tak hanya itu, korban diduga dibully lantaran beda agama dan suku.

SETARA Institute menyebut dugaan bullying atau perundungan mengakibatkan bocah KB meninggal tersebut sangat memprihatinkan.

Baca Juga:Sekongkol 2 Pekerja Kebun Habisi Nyawa Majikan, Mayat Dibuang ke Sungai Indragiri

Ditambah lagi korban tewas mendapatkan tindakan kekerasan diduga akibat korban menganut agama yang berbeda dari para pelaku.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan mengungkapkan pihaknya mengecam keras terjadinya kasus tragis ini.

Tindakan kekerasan yang berujung pada kematian tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak anak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

"Dan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945," terangnya dalam keterangan pers yang diterima Suara.com, Sabtu (31/5/2025).

Halili menyampaikan jika kasus tersebut menunjukkan bahwa dugaan intoleransi terhadap generasi sangat muda bangsa ini.

Baca Juga:Bocah SD di Indragiri Hulu Meninggal, Diduga Korban Bullying Teman-temannya

"Intoleransi di lapangan bahkan bukan hanya menimpa anak-anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA), tapi lebih muda dari itu," ujar dia.

Menurut Halili, berdasarkan survei yang dilakukan oleh SETARA Institute pada Februari 2023 menunjukkan bahwa diperlukan pelipatgandaan upaya untuk menghalau paparan intoleransi dan ekstremisme kekerasan dari satuan pendidikan kita.

Meskipun 70,2% dari responden berkategori toleran, 24,2 persen siswa SMA intoleran pasif, 5 persen intoleran aktif, dan 0,6 persen dari mereka terpapar ideologi ekstremisme kekerasan.

Dia menyampaikan bahwa dalam konteks tragedi di Riau, negara tidak boleh abai.

"Negara harus hadir dan mengambil tindakan yang memadai dalam menjamin perlindungan bagi anak dan kelompok minoritas agama atau keyakinan, serta harus memastikan para pelaku dan pihak yang bertanggung jawab diproses secara adil sesuai hukum yang berlaku," harap Halili.

Lebih lanjut, ia menuturkan secara lebih khusus SETARA Institute mendesak beberapa pihak untuk segera mengambil tindakan.

Kepolisian hendaknya segera mengusut tuntas kasus ini dan memastikan semua pelaku, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak lain.

Misalnya pembiaran oleh orang dewasa terkait, untuk diproses hukum secara professional dan memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.

"Kepolisian dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebaiknya memberikan perlindungan kepada keluarga korban, terutama orangtuanya agar tidak mendapat intimidasi lebih lanjut," ujar Halili.

Selain itu, kata dia, pemerintah daerah setempat hendaknya melakukan evaluasi terkait iklim sekolah yang rentan menjadi tempat diskriminasi, intoleransi dan kekerasan serta memobilisasi sumber daya.

"Termasuk program yang relevan, untuk memastikan penyelenggaraan program pendidikan dan lingkungan sekola yang damai, non- diskriminatif, inklusif dan aman untuk semua," kata Halili.

SETARA juga mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah hendaknya melakukan evaluasi dan pemantauan atas eksistensi dan kinerja Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang dibentuk di satuan-satuan pendidikan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Eksistensi dan kinerja TPPK seharusnya dapat mencegah kekerasan seperti yang dialami oleh KB dan kekerasan lainnya di berbagai satuan pendidikan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) memberikan rehabilitasi dan dampingan psikologis bagi keluarga korban.

"KPPPA juga mesti memastikan hak-hak keluarga korban, juga hak-hak para pelaku yang juga anak-anak, ketika proses hukum sedang berjalan," tegas Halili.

Selain itu, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri juga mesti mengambil peran sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

Hal tersebut dilakukan dengan menyusun langkah pencegahan dan penanganan diskriminasi berbasis agama di tingkat daerah, serta mendorong peran aktif seluruh perangkat pemerintahan di daerah untuk membangun toleransi, perjumpaan lintas identitas dan inklusi sosial sejak dini di tengah-tengah kemajemukan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini