Horor, Kesaksian PMI Ilegal Selamat di Tragedi Speedboat Tenggelam di Perairan Batam

Sahman merupakan salah seorang dari 23 orang PMI ilegal yang selamat.

Eko Faizin
Jum'at, 24 Juni 2022 | 08:25 WIB
Horor, Kesaksian PMI Ilegal Selamat di Tragedi Speedboat Tenggelam di Perairan Batam
Kapal speedboat pengangkut PMI ilegal kembali karam di perairan Batam, Kepulauan Riau. [suara.com/ist]

“Kalau saya tahu kami naik speedboat begitu, saya tidak akan berani ke Batam, pengurusnya bilang kami naik kapal ikan,” katanya.

Sahman menceritakan, ketika itu speedboat mengalami mati mesin dan mereka terombang-ambing di tengah laut. Tidak lama kemudian, speed boat kedua tiba untuk menolong mereka.

“Semua orang panik, dan berebut pindah ke boat kedua, kalau tidak salah boat kedua dari kayu, tapi karena kelebihan muatan, air sempat masuk dan kami terombang ambing, hingga akhirnya boat kedua itu tenggelam juga,” katanya.

Tak dilengkapi pelampung
Saat itu, mereka tidak diperlengkapi pelampung, Sahman berusaha menolong yang lain. Ia mengingat sempat menarik lengan seorang wanita, dan mencoba menolong.

Namun akhirnya tidak tertolong, karena Ia sendiri juga tidak pandai berenang. Sahman mencoba untuk terus mengapung, agar tidak tenggelam.

“Saya terapung, bertahan beberapa jam, sangking lamanya di air, sempat hilang kendali,” ceritanya.

Jika terlambat 1 menit saja, Sahman mengaku Ia bisa mati. Sampai akhirnya bantuan datang, seorang nelayan dengan perahunya.

“Saya teriak, tolong, siapa yang punya hati, tolong saya, baru ada suara, rupanya itu nelayan, saya disuruh mengapung dulu karena sampannya gak muat,” sebut dia.

Tidak lama setelah itu, Sahman kemudian diangkut ke perahu nelayan. Ia bersama korban selamat diletakkan di tepi pantai, hingga bantuan yang lain tiba.

Keluarkan uang Rp 8,8 juta
PMI Ilegal yang selamat, Amat (41) juga mengeluarkan uang Rp 8,8 juta untuk biayanya ke Malaysia. Uang tersebut diperolehnya dari meminjam kepada tetangga di kampung.

Sehari-hari, Amat bekerja sebagai petani yang mengerjakan lahan milik orang lain. Setiap bulan, penghasilannya kurang dari Rp 2 juta. Sedangkan Ia harus menghidupi kedua putri dan seorang istri yang sedang sakit.

Karena itu, Amat mencoba mengadu nasib untuk bekerja ke luar negeri, karena mengetahui temannya yang berhasil ketika bekerja di luar negeri.

“Uang Rp 8,8 juta itu saya bayar ke pak Tohri, harus lunas dibayar,” ujarnya.

Memilih jalur tak resmi
Ia memilih jalur tidak resmi karena prosesnya lebih cepat. Tahun 2005, Amat sempat bekerja ke Malaysia dengan jalur resmi, sehingga Ia tahu betul prosesnya sangat panjang.

Berasal dari Lombok Tengah, Amat bersama 7 orang lainnya termasuk adik ipar dan keponakannya berangkat ke Batam.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini