Cerita RA Kartini Menentang Poligami, Akhirnya Harus Rela Jadi Istri ke-4 Bupati

Tak banyak yang tahu bahwa RA Kartini ternyata punya perjalanan cintanya yang tampak menyedihkan ketika terpaksa terseret dalam poligami.

Eko Faizin
Kamis, 21 April 2022 | 10:05 WIB
Cerita RA Kartini Menentang Poligami, Akhirnya Harus Rela Jadi Istri ke-4 Bupati
Ilustrasi RA Kartini

SuaraRiau.id - Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini dikenal sebagai sosok pahlawan yang membawa perubahan terhadap emansipasi perempuan hingga saat ini.

Pemikiran-pemikiran tentang perjuangan perempuan RA Kartini abadi hingga saat ini. Makanya ia dikenang melalui perayaan Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April.

Kartini lahir Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879. Ia berasal dari keluarga terpandang.

R.A Kartini keluarganya (Sumber foto: UGM/Wikimedia Commons)
R.A Kartini keluarganya (Sumber foto: UGM/Wikimedia Commons)

Tak banyak yang tahu bahwa RA Kartini ternyata punya perjalanan cintanya yang tampak menyedihkan ketika terpaksa terseret dalam poligami. Dalam keluarga, poligami tak asing bagi RA Kartini.

Ayah RA Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat diketahui tak hanya memiliki satu istri saja. Ibunya, MA Ngasirah harus rela dipoligami oleh ayahnya Raden Mas Adipati yang menikah untuk kedua kalinya dengan Rade Ajeng Woerjan.

Saat itu, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat akan menjadi bupati, sehingga harus menikah dengan wanita keturunan bangsawan.

RA Kartini merupakan sosok yang menentang poligami karena dianggap merugikan wanita. Namun, RA Kartini harus rela dipoligami dengan menjadi istri ke 4 Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat.

Keputusan Kartini saat itu hingga saat ini pun mendapat banyak pertentangan kenapa mau dipoligami oleh Raden Adipati Djojoadiningrat.

"Ironis seorang Kartini karena pengen mempertahankan keturunan darah biru atau ningrat, RA Kartini rela dinikahkan dengan seorang adipati yang sudah berkeluarga," tulis pembaca saat berkomentar tentang infografis bertajuk 8 Fakta Tersembunyi Kartini dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com.

Faktanya, bila membaca surat-surat Kartini kepada para sahabatnya di Belanda, seperti Abendanon, dia justru banyak mengkritik soal gelar dan gaya hidup para bangsawan.

"Salah satu alasan utama Kartini akhirnya bersedia menikah dengan lelaki yang telah beristri atau dipoligami, justru karena rasa hormat dan cintanya kepada sang ayah," kata Krisnina (Nina) Maharani, penulis buku Pikiran Kartini.

Kartini, kata Nina, sudah pada titik menanggalkan egoismenya. Dia yang semula hidup pada tataran ideal mulai berpijak pada realitas sosial di sekelilingnya.

"Kartini mencoba berkompromi dengan sejumlah syarat. Dan yang mencengangkan dalam sejumlah suratnya, Kartini justru memuji dan menyanjung suaminya," katanya.

Dalam buku Pikiran Kartini yang terbit pada 2015, dicuplik surat Kartini kepada Abendanon tertanggal 14 Juli 1903.

"Saya telah berjuang, bergulat, menderita dan saya tidak dapat menjadikan nasib celaka ayah dan dengan demikian membawa bencana bagi semua yang saya cintai."

Bagian lain surat itu Kartini menegaskan bahwa dirinya telah berjuang, bergulat, menderita dengan segala sikap kukuhnya saat sang ayah, RM Adipati Sosrodiningrat menjodohkannya dengan Djojoadiningrat.

"Saya tidak dapat menjadikan nasib celaka ayah dan dengan demikian membawa bencana bagi semua yang saya cintai," tulis surat itu.

Hal lain yang tak banyak diungkap, rupanya Kartini pun mengajukan sejumlah syarat kepada calon suami yang akan memperistrinya. Syarat itu antara lain boleh membuka sekolah dan mengajar para putri pejabat di Rembang, dan membawa ahli ukir Jepara ke Rembang untuk mengembangkan kerajinan itu secara komersial.

Syarat lainnya menyangkut upacara pernikahan.

"Dia menolak ada prosesi jalan jongkok, berlutut, mentembah kaki mempelai pria dan akan berbicara dalam bahasa Jawa Ngoko, buku kromo inggil. Ini syarat-syarat yang radikal untuk ukurasa massa itu," ungkap dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak