Walau selama ini tujuannya hanya untuk mengkoreksi birokrat yang tak becus, tetapi kalau itu terus dilakukan, bakal negatif.
Sebab ada baiknya teguran dilakukan lebih dulu di belakang kamera. Artinya, dia tidak mempermalukan banyak anggotanya di depan umum.
Sebaliknya, kalau komunikasi frontal terus dilakukan, publik lama-lama membaca beliau hanya sebagai pemimpin yang ingin permalukan anggotanya saja dan menggiring publik untuk berasumsi kalau itu sekadar pencitraan belaka.
Padahal kalau ditelusuri, kans Risma di kontestasi Pilpres sendiri terbilang kecil, dan dia yakin sikap marah itu dilakukan oleh Risma tanpa memperhitungkan aspek politik.
“Tapi kalau keseringan, seolah-olah publik malah membaca kalau dia yang malah melempar tanggung jawab ke anak buah. Dan seperti kita tahu, komunikasi yang dibangun Risma ini memang reflektif.” ujar dia.
Terlepas dari itu semua, Wasisto melihat Risma sejauh ini telah melakukan kerjanya sebagai Mensos dengan sejumlah kelebihan. Ini terlihat dari sejumlah kebijakannya yang mengkoreksi kebijakan menteri-menteri terdahulu yang jarang turun ke lapangan.
Dan keunggulan inilah yang membuat Risma lebih bisa jernih melihat persoalan kemasyarakatan, dengan getolnya aksi blusukan yang dilakukan.
“Kalau selama ini kan menteri-menteri sebelumnya gayanya politisi elite Jakarta yang jarang mau turun ke lapangan. Nah Risma punya perbedaan perspekif dari sisi lain, dia tahu masalah yang tak diketahui menteri-menteri sebelumnya, terlepas dari dia sering marah-marah,” sebutnya.