“Coba bisa dibayangkan kalau kita menganggap tidak penting, ada meme menjelekkan kepala negara, presiden dan wakil presiden di negara demokrasi ini, sudah seperti apa bangsa kita?” katanya.
Sebab negara sejauh ini juga mengatur bagaimana cara berpendapat dan bukan melontarkan ujaran kebencian. Bukan pada penghinaan, hujatan, atau caci maki.
“Ini bukan persoalan Presiden Jokowi saja, melainkan juga presiden dan wakil presiden yang akan datang. Sebab kalau bangsa ini sudah tak hargai presiden, mau jadi apa bangsa ini. Sederhananya seperti itu,” kata Ngabalin.
Sementara itu di kesempatan yang sama Pakar Hukum dan Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar menyatakan ada beberapa hal yang mesti publik ketahui soal pasal penghinaan terhadap presiden ini.
Pertama, katanya, putusan MK itu sudah jelas, bahwa penghinaan terhadap presiden dalam fungsi jabatan itu tidak ada. Yang ada adalah penghinaan atas nama pribadi.
“Jadi kalau bicara subjek hukum jabatan. Itu sebabnya MK menyatakan tidak bisa ada penghinaan terhadap jabatan, sementara terhadap diri itu sangat mungkin,” katanya.
Dengan kondisi demikian, Zainal pun mengatakan kalau sifat dari pasal ini adalah delik aduan. Di mana siapa yang merasa dihina harus melaporkan kepada penegak hukum.
“Jadi harus orang yang bersangkutan yang melapor, tidak bisa lagi ada orang yang merasa presidennya dihina terus melaporkan,” ungkap dia.
Artinya, jika presiden merasa dihina, maka dia dikatakan harus secara langsung membuat laporan.