Pejabat BUMN Dicopot Gegara Pamflet Pengajian, Fadli Zon: Islamophobia

Politikus Partai Gerindra itu menyebut tindakan tersebut bisa digolongkan sebagai bentuk Islamophobia.

Eko Faizin
Senin, 12 April 2021 | 11:11 WIB
Pejabat BUMN Dicopot Gegara Pamflet Pengajian, Fadli Zon: Islamophobia
Fadli Zon. [YouTube/FadliZonOfficial]

SuaraRiau.id - Tindakan Komisaris Independen PT Pelni (Persero) Dede Kristia Budiyanto mencopot pejabat BUMN hanya gara-gara pamflet kajian keislaman di bulan Ramadhan menuai kecaman dari Fadli Zon.

Politikus Partai Gerindra itu menyebut tindakan tersebut bisa digolongkan sebagai bentuk Islamophobia.

Fadli Zon mengatakan radikal bukan kejahatan. Sebab, tindakan itu disertai dengan tuduhan serius mengenai radikalisme, yang mestinya punya dasar serta konsekuensi yang juga serius.

Sayangnya, kata Fadli Zon, publik tak melihat dasar dan konsekuensi serius tersebut.

Ia mengungkapkan bahwa dilihat dari daftar narasumber kajian itu, ada nama Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Cholil Nafis.

Selanjutnya, jika panitia yang dianggap radikal, apa dasar PT Pelni menganggap stafnya sendiri sebagai radikal. Bagaimana mungkin perusahaan negara merekrut orang-orang radikal.

“Selanjutnya, kalau memang benar-benar radikal, kenapa tidak diproses hukum? Kenapa hanya dipindahkan, yg membuat orang jadi mempertanyakan dasar tuduhan tersebut,” jelas Fadli dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com, Senin (12/4/2021).

Fadli menilai penyematan stigma radikal tanpa dasar yang jelas adalah wujud nyata sikap Islamophobia. Ironisnya, Islamophobia ini justru terjadi di perusahaan negara yang seharusnya jauh dari intrik dan sentimen politik.

Sikap Islamophobia dari petinggi BUMN ini, menurut Fadli, menunjukkan ada masalah dalam rekrutmen petinggi BUMN.

“Itu sebabnya, komisaris BUMN mestinya direkrut dari kalangan profesional, birokrat, atau orang-orang yang kompetensinya jelas, bukan direkrut dari kalangan ‘buzzer’, ujar Fadli.

Fadli menyebut, sikap fobia terhadap Islam biasanya diidap oleh orang-orang yang kemampuan literasinya miskin dan dangkal. Dia tidak memahami ajaran Islam, atau dia tidak mengenal umat Islam dengan baik.

Akibat dangkalnya pemahaman tersebut, dia jadi gampang memberikan stigma.

“Menurut saya, sangat berbahaya jika BUMN dihuni oleh pejabat-pejabat yg dangkal pemahaman kemasyarakatannya semacam itu,” katanya.

Apalagi, secara akademik sikap ‘radikal’ bukanlah bentuk kejahatan. Intoleransi, serta terorisme memang adalah bentuk kejahatan.

Tetapi, menyamakan ‘radikal’ dengan ‘intoleransi’ atau ‘terorisme’ jelas sebuah kesalahan. Itu sesat pikir namanya, kata Fadli.

Menurutnya, di Indonesia, label radikal kini secara politis telah dikonotasikan kepada kalangan Islam. Sehingga, tuduhan itu umumnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Apalagi, secara konsep sudah jelas keliru. Kalau kelompok Islam berbuat langsung dengan mudah ada cap radikal, namun saat kelompok lain sudah jelas berontak malah nggak dilabeli radikal.

Fadli berpandangan sudah saatnya Kementerian BUMN untuk membina para petinggi BUMN mereka. Jangan sampai kejadian di PT Pelni ini terjadi di masa yang akan datang.

“Hak karyawan PT Pelni untuk beribadah, atau melakukan kegiatan keagamaan, tak seharusnya diintervensi oleh direksi atau komisaris. Itu mengesankan tugas direksi dan komisaris BUMN jadi bersifat remeh-temeh belaka,” ujar dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini