SuaraRiau.id - Menyambut perayaan Imlek, kue bakul atau kue keranjang merupakan sajian wajib yang menjadi simbol dan tradisi bagi warga etnis Tionghoa.
Kue ini merupakan kue tradisional yang dibuat menggunakan tepung ketan dan gula. Kue bakul ini memiliki tekstur yang kenyal dan sedikit lengket. Dalam tradisi Tionghoa, kue bakul merupakan kuliner wajib yang harus ada saat perayaan Imlek.
Kuliner ini memang menjadi buruan utama saat Imlek, kue dengan bentuk yang bulat dan khas dipercaya membawa keberuntungan dan sudah ada sejak zaman dahulu.
Menurut pengurus Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Riau, Ket Tjing, kue keranjang tersebut memiliki nilai filosofis.
"Jadi nilai filosofisnya yaitu untuk menyatukan 1 keluarga atau keberagaman dalam kebersamaan, perlu melalui proses dan bekerja sama agar mendapatkan hasil yang meningkat dan sempurna seperti bulatnya kue bakul," kata pengurus PSMTI Riau tersebut kepada SuaraRiau.id, Rabu (10/2/2021).
Ia menjelaskan, dalam proses membuat kue bakul yang dapat mengembang, enak dan empuk, juga diperlukan proses kerja yang cukup telaten.
Dalam bahasa Mandarin kue bakul ini dikenal dengan sebutan Nian Gao, sementara dalam dialek Hokkien disebut dengan Ti Kwe.
Kue ini ternyata memiliki banyak makna. Tradisi menyantap kue bakul dipercaya masyarakat Tionghoa dapat membawa keberuntungan sepanjang tahun. Kue ini menjadi pelengkap santapan masyarakat suku Tionghoa saat merayakan hari raya Imlek.
Disampaikannya, jika tidak serius dan ada pamali yang dilanggar, seperti bicara hal-hal buruk atau emosional, maka akan ada gangguan dalam proses pembuatannya.
"Biasanya hasil akhirnya tidak akan baik," ungkapnya.
Kue bakul terbuat dari tepung ketan dan gula, maka dari itu rasanya manis dengan tekstur yang kenyal dan lengket. Kue ini dapat dimakan langsung atau diolah sesuai selera. Kue ini rupanya bukan hanya sekadar hidangan khas Imlek, ada banyak makna yang terkandung dalam proses pembuatan kue ini.
Kemudian, dari proses pembuatan kue Akil tersebut, setiap unsur agar dapat menyatu, akrab, lengket seperti kue bakul dan manis.
"Jadi disebut kue bakul karena secara tradisional dulu dalam memasaknya menggunakan keranjang-keranjang rotan yang kecil, atau bakul," tuturnya.
Melambangkan kebersamaan
Kue bakul terbuat dari tepung ketan yang lengket melambangkan persaudaraan yang erat dan menyatu. Bentuknya yang bundar tanpa sudut juga memiliki makna kebersamaan dan kekeluargaan.
Rasa kue keranjang yang manis pun menandakan suka cita dan nikmatnya keberkatan dalam hidup. Kue ini menjadi pengingat akan pentingnya menjalin hubungan kekeluargaan dan saling tolong-menolong.
Kue bakul rupanya juga tahan berbulan-bulan karena proses pembuatannya yang lama, hal ini merupakan harapan agar hubungan yang terjalin kekal abadi meski zaman berubah.
Saat perayaan imlek, kue ini menjadi sajian pembuka bagi masyarakat di Tiongkok sebelum menyantap hidangan utama. Hal ini ternyata dipercaya akan membawa keberuntungan, terutama dalam hal pekerjaan.
Biasanya kue ini juga disusun bertingkat, dengan maksud agar ada peningkatan rezeki dan kemakmuran di tahun yang baru.
Saat merayakan tahun baru, masyarakat Tionghoa biasanya akan menyantap dan membagikan kue bakul agar mendapatkan berkat.
Tak hanya itu, kue bakul juga digunakan sebagai sesaji dan tidak dimakan sampai Cap Go Meh atau 15 hari setelah Imlek.
Siapa sangka, ternyata proses pembuatan kue keranjang membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang ekstra.
Untuk fermentasi tepung ketan memerlukan waktu sekitar 10 hari, sedangkan proses pengukusan bisa menghabiskan waktu selama 12 jam.
Membuat kue keranjang juga diperlukan pikiran yang bersih dan prasangka yang baik, agar menghasilkan tekstur yang sempurna. Jika dilanggar, warga Tionghoa meyakini besar kemungkinan hasil kue keranjang menjadi tidak optimal, lembek dan pucat.
Itulah mengapa kue keranjang melambangkan kegigihan, keuletan, dan pantang menyerah dalam meraih tujuan hidup.
Kontributor : Panji Ahmad Syuhada