SuaraRiau.id - Pengamat politik sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI), Ade Armando menanggapi polemik kasus siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang yang dipaksa berjilbab.
Ade Armando beranggapan bahwa wanita muslim alias muslimah di Indonesia baru berjilbab sejak adanya paham wahabi, hingga gagasan negara Islam masuk ke tanah air.
Pernyataan mengenai asal usul muslimah di Indonesia berjilbab tersebut diunggah di saluran YouTube CokroTV, Ade Armando awalnya mengomentari kasus siswi nonmuslim yang dikenakan wajib berjilbab di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat (Sumbar).
Ade beranggapan, kewajiban memakai jilbab tidak masalah bila diberlakukan di sekolah bercorak Islam seperti madrasah ataupun pondok pesantren.
Namun yang terjadi di Padang dilakukan di sekolah negeri yang operasionalnya didanai dari uang rakyat.
Kasus tersebut merupakan masalah yang cukup serius, lantaran membuktikan masih adanya penindasan hak beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
“Kalau kewajiban berjilbab ini dilakukan di sekolah Islam seperti madrasah dan pesantren, tentu bisa diterima, tapi kalau kewajiban ini dilakukan di sekolah negari yang dibiayai rakyat, ini jelas persoalan serius. Kejadian di SMKN Padang itu menjadi penting karena menunjukkan adanya penindasan hak beragama dan berkeyakinan di Indonesia,” ujar Ade Armando, dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com, Selasa (26/1/2021).
Ihwal permasalahan kewajiban berhijab dalam Islam, Ade Armando menilai sebenarnya tidak ada tafsiran tunggal alias multi tafsir. Banyak anggapan soal ketentuan menutupi aurat.
Hal itulah yang menjadi alasan mengapa kaum muslimat di Indonesia tidak berjilbab selama berabad-abad tahun.
“Tidak ada tafsiran tunggal, ada beragam interpretasi dalam dunia Islam, ada beragam keyakinan dalam dunia Islam. Itulah yang menjelaskan bahwa selama berabad-abad kaum muslimat di Indonesia tidak berjilbab,” katanya.
Berhijab bukan kearifan lokal
Ia juga membantah anggapan yang mengatakan bahwa berjilbab merupakan kearifan lokal masyarakat Sumatera Barat.
Sebagai contoh, dia menyebut sejumlah alim ulama termasyur pada zamannya, yakni Buya Hamka dan Muhammad Natsir. Kedua tokoh itu justru tidak mewajibkan penggunaan jilbab kepada anak-anaknya.
“Kalau ada yang berargumen bahwa berjilbab adalah kearifan lokal Sumatera Barat yang sudah berakar selama berabad-abad, dia jelas bohong. Coba saja lihat foto-foto keluarga tokoh muslim dari Sumatera seperti Buya Hamka dan Muhammad Natsir. Perempuan-perempuan di keluarga ulama besar itu tidak berjilbab,” tuturnya.
Ade menjelaskan perempuan muslim di tanah air baru berjilbab sejak tahun 1990-an. Selain itu dia juga mengaitkan antara penggunaan jilbab dengan masuknya paham wahabi dan gagasan negara Islam khilafah.
“Di Indonesia, perempuan muslim baru berjilbab pada tahun 1990-an. Bahkan di Sumatera yang dianggap lebih puritan dibandingkan di Jawa misalnya, berjilbab adalah fenomena yang baru berkembang belakangan,” jelas dia.
“Kaum muslimat di Indonesia baru berjilbab sejak masuknya paham Wahabi, konservatisme Islam, ada gagasan negaran Islam, ada khilafah, dan seterusnya,” tambahnya.
Kendati demikian Ade Armando menegaskan pernyataan tersebut tidak bermaksud menyudutkan kaum muslimat yang berjilbab. Tetapi berjilbab merupakan soal keyakinan dan preferensi yang tidak bisa dipaksakan kepada setiap orang.
Berjilbab atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kualitas dan integritas seseorang.
“Saya tidak ingin mengatakan berjilbab itu salah atau terbelakang. Tapi berjilbab adalah soal keyakinan dan bahkan soal preferensi. Berjilbab tidak punya korelasi dengan kualitas dan integritas,” tegasnya.
“Berjilbab adalah gaya berpakaian yang tidak ada standar absolutnya. Bahkan ulama besar lulusan Al Azhar, Mesir seperti Profersor Doktor Quraish Shihab tidak menganggap berjilbab itu wajib bagi muslimat. Lihat saja putrinya, Najwa Shihab,” imbuhnya.