SuaraRiau.id - Jusuf Kalla (JK) diprediksi berpeluang kembali mengikuti pemilihan presiden (pilpres) pada 2024 mendatang.
Namun bila pencalonan JK nanti tidak ingin sia-sia maka dia harus berusaha meningkatkan elektabilitasnya jelang Pilpres 2024. Hal itu disampaikan, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti.
Berdasarkan sejumlah lembaga survei politik, terdapat beberapa politikus yang kerap bertengger sebagai pemuncak dengan elektabilitas tertinggi.
Hingga saat ini sejumlah tokoh politik terus bersaing mencari elektabilitasnya. Sejumlah tokoh itu antara lain Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan beberapa tokoh lain.
Untuk bisa menggapai target elektoral, JK harus berusaha keras untuk bersaing dengan nama-nama kuat tersebut yang sekarang sedang naik daun.
Namun bila target elektabilitas tersebut tidak tercapai, maka Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) harus mengajak tokoh dengan elektabilitas tinggi sebagai pasangannya.
“JK dapat dipasangkan dengan anak muda yang sedang bersinar. Ada Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, atau Agus Harimurti Yudhoyono,” ujar Ray dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com.
Menyinggung usia, JK yang saat ini tidak lagi muda, namun kata lulusan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menegaskan bahwa itu bukanlah penghalang.
Belajar dari negara-negara lain, saat ini banyak orang nomor satu di sebuah negara dipimpin oleh seseorang yang usianya terbilang tua, sebut saja ada Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden yang baru saja dilantik.
Sebaliknya Ray Rangkuti menganggap, ada kemungkinan dari pasangan perpaduan usia antara tua dan muda ini justru bakal memberikan sebuah optimisme yang kuat, khusunya dikalangan mileniel.
Bila hal tersebut terjadi, maka Jusfu Kalla sebagai politikus berpengalaman tinggi bakal berkolaborasi dengan politikus muda yang memiliki ide inovasi cemerlang.
“Tak tertutup kemungkinan pasangan tua muda ini akan memberi optimisme yang kuat, khususnya bagi pemilih milenial,” tandasnya.
Sementara itu, pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengungkapkan ada tujuan lain dibalik rencana mundurnya jadwal Pilkada pada 2022 dan 2023, yakni menjadikan elektabilitas sejumlah tokoh politik anjlok sehingga menguntungkan beberapa sosok pada Pilpres 2024 mendatang.
Sesuai yang sedang dibahas oleh DPR terkait revisi Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).
Berdasarkan UU yang sekarang berlaku, maka Pilkada bakal dilaksanakan serentak bersamaan dengan Pemilu atau Pilpres 2024.
Refly Harun memandang, adanya rencana ini tidak lain hanya untuk menggeser sosok Anies Baswedan dari muka publik. Pasalnya, masa jabatan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bakal rampung pada 2022 nanti, bila di tahun yang sama tidak ada Pilkada, maka Anies menjadi gelandangan politik.
“Ada satu spekulasi yang ingin saya bagikan, ‘kenapa ada isu 2022 tidak diperlukan Pilkada termasuk Pilkada DKI Jakarta?’, sebenarnya salah satu imajinasinya adalah bagaimana memangkas Anies Baswedan,” ujar Refly Harun di laman Youtube-nya pada Senin, 18 Januari 2021.
Artinya Anies tidak memiliki kekuatan politik sama sekali lantaran dia tidak mempunyai jabatan di pemerintahan maupun partai politik.
Tentunya hal tersebut juga bakal menyulitkan Anies kalau dia ingin ikut menyalonkan diri dalam ajang Pemilu pemilihan Presiden 2024 mendatang. Mengingat hingga saat ini elektabilitas Anies terus menanjak naik.
“Karena masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gurbernur DKI itu akan berakhir pada tahun 2022. Kalau pada tahun 2022 tidak dilakukan pemilihan lagi, maka Anies Baswedan akan menjadi gelandangan politik. Jadi setelah berakhir, Anies bakal jadi gelandangan politik, tidak punya jabatan, juga tidak punya partai politik,” katanya.
“Dan ini pasti akan menyulitkan seandainya Anies mau diusung untuk Pemilu 2024,” lanjutnya.
Apabila rencana mundurnya Pilkada ini terjadi, maka tokoh politik lainnya seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga bakal terkena dampaknya.
Kedua Gubernur yang kini memiliki elektabilitas tinggi dan berpotensi dicalonkan kembali baik dalam Pilkada ataupun Pemilu tersebut, tentu kekuatannya bakal melemah lantaran rehat sejenak dari masa akhir jabatannya hingga 2024 mendatang.
“Hal yang sama terjadi pula kepada Ganjar Pranowo karena kalau tidak salah jabatan dia berakhir sebagai Gurbenur Jawa Tengah pada 2023. Ridwan Kamil juga akan berakhir pada tahun 2023. Karena Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah itu waktunya tidak beda jauh. Dengan demikian maka para kepala daerah yang saat ini menjabat, yang dianggap powerfull dan punya kekuatan peluang untuk dicalonkan, maka dia akan melemah. Karena mereka tidak punya lagi panggung politik,” terang Refly.