Kisah Wawan, Wartawan Korban Merapi yang Dekat Mbah Maridjan

Wawan meninggal saat erupsi Gunung Merapi 2010.

Eko Faizin
Kamis, 05 November 2020 | 12:00 WIB
Kisah Wawan, Wartawan Korban Merapi yang Dekat Mbah Maridjan
Endah Sapta Ningsih, istri Yuniawan Wahyu Nugroho, wartawan Vivanews korban erupsi Merapi 2010, menunjukkan foto pernikahannya. - (Suara.com/Dewi Yuliantini)

Mungkin sekarang saya baru bisa bilang ya, ini lo buktinya uang ini buat mereka. Anak saya sudah pada kerja, pendidikannya sudah dapat yang terbaik, jadi saya bisa bilang, saya kehilangan materi tidak apa-apa, tapi saya bisa mengatakan, "ini lo anak saya sudah jadi orang." Sedikit banyak saya sudah bisa berbangga. Ini anak dengan hidup cuma sama saya, jadi sebisa mungkin ya saya harus bisa mewujudkan mimpinya Wawan.

Seperti anak yang besar itu di (Universitas) Padjajaran ambil Sastra Rusia, terus bapaknya itu pernah bilang, "kamu jangan hanya ngambil pelajaran saja, tapi kamu harus bisa sampai negaranya," akhirnya dibuktikan ambil S2, kemudian selesai.

Kalau orang bilang, "sudah 10 tahun ya, tidak terasa." Iya kamu tidak menjalani, saya yang menjalani ya kerasa. Dibilang berat ya berat, dibilang enteng ya enteng gitu to. Ya sudahlah, disyukuri saja, memang ini garis hidup saya seperti ini, tapi mungkin waktu itu Wawan ninggal saya sudah mantep gitu ya.

Jadi Wawan meninggal itu 26 oktober 2010, 35 hari kemudian itu bapak saya meninggal. Lalu setelah itu, kehidupan saya jalani seperti biasa. Cuma waktu itu memang Tuhan lagi membentuk saya, maksudnya masih menguji saya. Lalu setelah enam bulan, anak saya yang besar itu masuk ICU itu ada sekitar dua minggu. Banyak hal memang dalam kehidupan ini harus saya jalani. Namun di atas itu semua banyak hal yang harus saya syukuri. Mungkin saya kehilangan orang yang mengasihi saya dan saya kasihi, tapi kalau di agama saya, "jangan hanya melihat kedukaan yang kita hadapi, tapi lihat apa yang sebenarnya di balik peristiwa ini."

Tidak mudah karena saya seorang diri, dengan dua orang anak perempuan, di mana godaan zaman itu juga demikian hebatnya. Kemudian saya juga harus adil, di mana saat itu saya harus nengok anak saya di Bandung, tinggalkan anak saya yang kecil. Membagi waktu. Mungkin orang melihatnya enak.

Banyak yang bilang Wawan itu mati konyol, tapi bagi saya enggak, jarang ada orang yang mau berkorban seperti dia, tapi saya tidak pernah mendengarkan kata orang karena kalau kata orang itu kita simpan, yang sakit itu kita sendiri.

Setelah peristiwa itu, apakah Ibu mengalami trauma? Bagaimana upaya untuk berdamai dengan itu?

Trauma ya pasti ada, tapi enggak yang gimana gitu ya. Takut pasti, tapi ya harus menguatkan diri sendiri. Kalau saya nangis-nangis kan kasihan anak saya. Jadi gimana saya harus menahan. Ya sudah kita terima saja. Kalau kita menghadapi situasi, Tuhan enggak mau kasih kita cobaan atau apa, Tuhan cuma mau tahu "kamu bisa enggak melewati ini." Banyak masalah datang dan pergi, tapi ya bersyukur kita bisa melewati ini. Saya sudah melewati ini bukan sehari dua hari, sudah bertahun-tahun. Sekarang saja bisa, besok juga pasti bisa.

Kalau berkunjung ke Merapi, bagaimana perasaan Ibu?

Engggak ada masalah, tapi waktu lihat fotonya Wawan di Museum Mbah Maridjan, saya bisa ndeprok [terduduk di tanah], enggak bisa berdiri. Saya dibopong temen saya, dibilang, "ndadak rene barang ke yo ngopo [pakai ke sini segala itu ya ngapain]," tapi yang namanya mengumpulkan keberanian kan ya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini