SuaraRiau.id - Nama Basuki Tjahaja Purnama kembali muncul setelah di sebuah acara ia melontarkan pernyataan-pernyataan super pedas.
Salah satu pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tersebut membawa-bawa kadrun (kadal gurun) yang membuat pihak tertentu merasa tersinggung.
"Kalau saya jadi dirut pertamina kadrun bisa demo," ucap Ahok dalam channel YouTube POIN tersebut.
Pernyataan Ahok yang berapi-api itu pun menyentil Mardigu Wowiek alias Bossman Sontoloyo untuk berkomentar lewat sebuah unggahan di Instagramnya @mardiguwp.
"Kepada temanku Ahok, saya ingin menyampaikan pesan. Ada hal yang beda ketika pejabat publik bicara dengan masyarakat umum bicara. Pilih-pilih kata ya," tulis Mardigu memulai pesan panjangnya, Selasa (22/09/2020).
Sebagai seorang teman, Mardigu menegaskan kalau dirinya dalam banyak hal sepakat dengan ide, pemikiran dan tindakan Ahok.
Hanya saja, Mardigu menyoroti gaya bicara Ahok yang seharusnya bisa menyesuaikan situasi, kondisi dan seharusnya bisa mengesampingkan latar belakang daerah.
"Kita sering meledak ledak dan mengunakan gaya bahasa khas daerah kita, saya dari Jawa Timur yang biasa ancuk-ancuk, diamput-diamput tapi itu bukan makian penghinaan, itu memang bahasa pergaulan menunjukan kekesalan pakai penekanan ben ketok dalem marahnya."
"Anda dari Belitung, di mana anda sendiri sering mengatakan, saya ini triple minoritas, sudah keturuan china, orang daerah Belitung, Kristen lagi. Dan anda katakan sambil bergurau, itu khas Pak Ahok," sambungnya.
Soal penyebutan kata kadrun yang dilemparkan Ahok, kaca mata Mardigu menerangkan bahwa kata tersebut sensitif karena menyasar komunitas keturunan Arab.
"Kadrun yang aslinya adalah ledekan ciptaan dari para buzzerp berarti kadal gurun memang menyasar keturunan Arab, dan orang Indonesia yang memilih budaya kearab araban," kata Mardigu lagi.
Mardigu menambahkan, persoalan kadrun an sejenisnya bisa menimbulkan rasa kebencian dan menimbulkan “personal anger”.
Akan tetapi, lanjut Bossman, ia pesimis perdebatan soal kadrun ini dapat diselesaiakan dengan mudahnya.
Sebab, selama ada buzzerp yaitu sekolompok orang yang di bayar negara untuk mempropagandakan sesuatu dan menyerang oposisi atau apapun yang dianggap berlawanan dengan pemerintah di media sosisal dan media mainstream, sulit kebencian hilang dari masing masing kelompok.
"Asal masalahnya sederhana, ini semua adalah karena MINORITY SYNDROME, sindrom kaum minoritas," tutup Mardigu dalam unggahannya itu.
Hingga artikeli ini diturunkan, hampir seribuan warganet pengguna Instagram langsung menggerakkan jemari tangannya untuk berkomentar.
"Sangat sangat mencerahkan. Ambisi pribadi akan kekuasaan harus melihat nasab keturunan dan suku, tidak semua orang "Besar" akan menjadi penguasa karena mayoritas akan tetap jadi mayoritas. Semoga yang mayoritas mengayomi yang minoritas. Sebaliknya yang minoritas tahu diri akan ke minoritasannya," timpal @yuda.sur***
"Lucu sih kalau minoritas harus tahu diri. Saya kurang sependapat, sejatinya tidak ada minoritas tidak ada mayoritas, itulah kenapa bhineka tunggal ika, kalau masih ada segmentasi saya mayoritas atau kamu minoritas, ya sedih saja dengan cara berpikirnya. Sekarang kalau memang yang mayoritasnya nggak mau membuka hati, masak ya minoritas yang ditekan, harus tahu diri?" kata @yohannes***
"Aku bacane sampe melotot bossman," tulis pemilik akun @indira*** lengkap dengan emoji jempol.