"Kita mencoba dan mencoba, satu bulan belum selesai bahkan ada yang mengatakan kami tidak waras. Karena orang mengambil air kan biasanya dari atas ke bawah, kalau saya dari bawah ke atas. Ada yang sampai mengatakan berani minum air kencing sendiri bila sampai ke sini airnya. Tapi itu malah sebagai penyemangat," ujarnya.
Alat tersebut, kini pun di komersialkan dengan harga yang cukup miring jika dibandingkan dengan keawetan alat dengan minimalnya perawatan.
Bermodalkan besi bekas serta ban mobil bekas yang hanya seharga Rp 300 ribu, bisa dijual seharga Rp 1,75 juta. Terlebih alat ini tidak membutuhkan sumber daya listrik.
"Saya itu jual teknologi nya juga mas, jadi bukan sekedar alat. Jika dibandingkan dengan keawetannya ya sangat sebanding. Karena ini minim perawatan. Bayangkan saja, ini bisa menyalurkan sampai jarak 600 meter dengan ketinggian elevasi 86 meter. Istilahnya saya menciptakan tsunami dalam tabung untuk mengoperasikan alat ini," ujarnya.
Pompa air HySu ini berbeda dengan pompa air hydram pada umumnya, karena pompa air karya Sudiyanto memiliki aliran air yang lebih konstan. Karena diukur dengan kemiringan yang harus sesuai standar.
"Ini saya dengan berjalannya, waktu akhirnya membuat 7 pipa untuk meluncurkan air dengan berbagai ukuran dari 3 inci, 2 inci, satu setengah dan satu inci. Kemiringannya maksimal 35 derajat, kalau minimal 5 derajat sudah bisa membuat alat ini. Tidak boleh lebih dari 35 derajat, kalau lebih dari itu malah pompa ini tidak berfungsi," lanjutnya.
Dengan ditemukannya alat tersebut, kini 7 RT di RW 5 pun tidak pernah mengalami kekeringan. Ada 280 kepala keluarga yang menghuni.
a bahkan meraih berbagai penghargaan baik itu tingkat Kabupaten, Provinsi sampai Nasional termasuk meraih penghargaan Desa Mandiri Energi tahun 2019 dari Kemristek. Ada satu medali emas yang diraihnya pada tahun 2008 terpaksa dijual untuk membeli lahan milik warga yang digunakan sebagai sumber mata air.
"Saya waktu itu sempat jual medali emas. Kalau tidak salah dapat uang Rp 300 juta untuk pembebasan lahan warga yang digunakan meletakkan alat di dekat sumber mata air," katanya.
Berkat temuannya ini, berbagai wilayah dari Sumatera, ujung pulau jawa bagian timur, serta daerah di Nusa Tenggara Barat (NTB) turut merasakan pompa air hasil karyanya.
Tak cukup sampai disitu, di daerahnya sendiri ia mendirikan Paguyuban Masyarakat Pendamba Air Bersih (PMPAB).
Ia tak menarik mahal hasil temuannya ini, jika dibandingkan dengan harus memasang PDAM, ia hanya menarik iuran Rp 300 perkubik.
"Paling jika dirata-rata hanya Rp 15 ribu perbulan. Itu juga uangnya masuk ke paguyuban untuk operasional. Tidak mengambil untung," katanya.
Sementara itu, Warno (66) warga setempat yang menikmati jasa Sudiyanto mengaku sangat terbantu dengan adanya temuan alat HySu ini. Ia mengisahkan sulitnya mengalirkan sumber air yang berada di bawah permukiman warga.
"Dahulu itu saya harus ngangsu (nimba air) dengan menanjak sejauh 300 meter. Susah banget. Tapi ya alhamdulillah sekarang air saya sudah lancar tidak pernah kekeringan lagi walau musim kemarau," jelasnya.