Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Rabu, 18 Juni 2025 | 15:33 WIB
Ribuan massa dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan (AMMP) menggelar aksi di kawasan Bundaran Zapin hingga depan Kantor Gubernur Riau Pekanbaru, Rabu (18/6/2025). [Suara.com/Rahmat Zikri]

SuaraRiau.id - Ribuan massa dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan (AMMP) menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Bundaran Zapin hingga depan Kantor Gubernur Riau Pekanbaru, Rabu (18/6/2025).

Mereka menolak rencana relokasi dari kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, dan mendesak pemerintah untuk melegalkan lahan tempat tinggal serta sumber penghidupan mereka tersebut.

Pantauan Suara.com, aksi yang dimulai sejak pukul 08.00 WIB itu berlangsung damai dan diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai dari orang tua, remaja hingga anak-anak.

Massa tampak membawa bendera Merah Putih, spanduk berisi tuntutan, pengeras suara, serta poster berisi seruan agar pemerintah berpihak kepada rakyat kecil.

Baca Juga: Tolak Relokasi dari TNTN, Ribuan Massa Geruduk Kantor Gubernur Riau

Aksi ini menyebabkan penutupan sejumlah jalan protokol dan menimbulkan kemacetan panjang di beberapa titik Kota Pekanbaru.

Korlap aksi, Wandri Putra Simbolon kepada awak media mengungkapkan kekhawatiran dan tekanan yang mulai mereka rasakan setelah munculnya kebijakan relokasi. Sejumlah dusun disebut sudah dipasangi portal, dan warga merasa terintimidasi.

"Ada pemasangan portal di beberapa dusun. Warga mulai merasa takut dan khawatir. Kami berharap Kapolda Riau bisa mengkondisikan ini agar situasi tetap tenang," ungkap salah satu tokoh masyarakat yang hadir dalam audiensi.

Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) sebelumnya menetapkan batas waktu relokasi mandiri selama tiga bulan, dari 22 Mei hingga 22 Agustus 2025. Namun sejauh ini, baru satu-dua rumah yang terlihat mulai melakukan relokasi.

Warga meminta negara hadir dengan tanggung jawab penuh, termasuk memastikan ganti rugi yang adil jika relokasi memang tidak bisa dihindari.

Baca Juga: 10 Kabupaten-Kota di Riau Resmi Berstatus Siaga Karhutla

"Negara harus bertanggung jawab. Kalau memang harus pindah, pastikan ganti rugi sesuai. Ini bukan tanah perusahaan, ini tanah yang sejak lama menjadi tempat kami hidup. Tidak semua lahan di TNTN dikuasai masyarakat, justru 153 ribu hektare dirusak oleh korporasi besar," ujar warga lainnya.

Wandri mengatakan bahwa ada tiga klaster yang saat ini terdampak permasalahan yaitu masyarakat asli yang sudah tinggal di wilayah tersebut sebelum TNTN ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Masyarakat yang masuk setelah kawasan ini ditunjuk sebagai taman nasional, namun tidak mendapatkan sosialisasi atau solusi dari pemerintah dan kelompok yang datang setelah UU Cipta Kerja diberlakukan, yang juga membutuhkan pendekatan berbeda.

"Jangan samakan semuanya. Ada warga yang sudah tinggal di sana sebelum TNTN lahir. Mereka punya sejarah panjang di sana. Kalau ada cukong, silakan tindak tegas. Tapi yang benar-benar punya hak tolong dihargai," tegasnya.

Kritik tajam juga disampaikan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang diduga telah merambah kawasan TNTN secara masif, namun tidak tersentuh hukum.

"Kami ini sangat mencintai taman nasional. Tapi jangan sampai taman nasional hanya jadi kamuflase. Habis dulu hutannya oleh perusahaan, setelah sawit menghasilkan baru kami warga kecil tiba-tiba disuruh pergi. Ini tidak adil," ujar perwakilan masyarakat.

Load More