Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Rabu, 15 November 2023 | 08:19 WIB
Ilustrasi kelapa sawit. [Antara/Wahyu Putro]

SuaraRiau.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan jika transformasi energi Indonesia telah menjadi prioritas bersama.

Selain mempertimbangkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan target nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada tahun 2060.

Untuk itu, harus dilakukan berbagai inisiasi dalam merealisasikan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya melalui riset pengembangan bahan bakar berbahan dasar kelapa sawit.

Di antaranya adalah riset terkait pengembangan bensa alias bensin sawit. Mengingat, Indonesia menjadi negara dengan industri kelapa sawit terbesar di dunia saat ini.

Pada 2022 saja, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indonesia telah memproduksi 52 juta ton minyak kelapa sawit (CPO).

Karena itu, sangat disayangkan apabila tidak memanfaatkan anugrah sumber daya alam ini untuk pengembangan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan serta memiliki nilai ekonomis lebih tinggi.

Dalam hal ini bahan bakar ramah lingkungan merupakan bahan bakar yang tidak menimbulkan dampak negatif yang tinggi terhadap lingkungan. Perlu diketahui bahwa pembakaran yang berlangsung di mesin kendaraan, sering kali menyisakan residu yang menjadi polusi bagi lingkungan.

Bensa menjadi salah satu alternatif yang dapat diimplementasikan untuk menciptakan bahan bakar ramah lingkungan, sekaligus mengurangi impor BBM. Bensa sendiri merupakan bahan bakar minyak (BBM) yang berbahan dasar kelapa sawit dengan kadar RON atau angka oktan 110.

Saat ini, bensa tengah dalam tahap pilot roject. Penelitian bensa dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerja sama dengan Kementerian ESDM serta bantuan pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan PT Kemurgi Indonesia.

Dalam uji coba sebelumnya, bensa telah digunakan pada kendaraan sepeda motor KTM 390 CC Adventure yang berhasil menempuh jarak 2.000 kilometer (km) dari Bogor sampai Medan.

Namun bahan bakar ini masih belum dapat dipasarkan dan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Kedepannya, pemerintah merencanakan target untuk memproduksi bensa sebesar 238,5 kiloliter (kL) per hari.

Sebenarnya, proyek bensa telah dimulai sejak tahun 1982, dengan mengonversi stearin menjadi bahan bakar nabati yang terdiri dari bensin, gerosin serta minyak disel.

Kemudian pada tahun 2018, BPDPKS memutuskan untuk turun tangan memberikan bantuan pendanaan guna mengembangkan teknologi produksi bensa dalam skala besar.

Dalam Pekan Riset Sawit Indonesia (PERISAI) 2023, salah satu anggota tim peneliti Pusat Rekayasa Katalis ITB Melia Laniwati Gunawan menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah berfokus pada aspek katalis.

Hal ini dikarenakan untuk dapat mengonversi minyak nabati (IVO) dan minyak nabati industri campuran (MIVO) dalam proses pengembangan bensa sangat bergantung pada katalis serta kondisi proses.

Dalam konteks kimia, katalis merupakan suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan oleh reaksi itu sendiri.

Karena katalis itu bisa mempercepat reaksi miliaran bahkan triliunan kali lebih besar, dan mengarahkan ke produk yang kita inginkan, oleh sebab itu kami sedang mengembangkan katalisnya. Kami ini sudah cukup lama mengembangkan katalis khususnya untuk proses cracking IVO menjadi bensa.

Selain mampu menciptakan energi yang lebih bersih, Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto menilai pengembangan bensa nantinya juga akan memuluskan jalan bagi Indonesia untuk menyejahterahkan para petani. Pasalnya, riset ini dapat membantu pembuatan "steam engine" yang lebih murah dibandingkan turbine, sehingga bisa diakses lebih luas oleh para petani.

Sebenarnya pabrik kecil ini sangat ditunggu para petani, artinya makin kecil makin terjangkau dan impian untuk mengelola buahnya untuk menjadi minyak itu bisa terealisasi dan akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dari pada petani itu sendiri. (Antara)

Load More