Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Kamis, 21 Juli 2022 | 16:08 WIB
Pekerja sedang mengumpulkan sawit yang baru dipanenkan. [ANTARA]

SuaraRiau.id - Kalangan petani sawit berharap pemerintah mengevaluasi besaran bea keluar dan pungutan ekspor CPO (crude palm oil) atau minyak sawit mentah sebagai salah satu upaya mendongkrak kembali harga tandan buah segar (TBS) sawit.

Hal itu dikatakan Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Perjuangan (Apkasindo Perjuangan) Alvian Rahman terkait keluarnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.

Dalam revisi PMK tersebut, tarif pajak ekspor CPO yang dikumpulkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), untuk semua produk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya menjadi nol.

Kebijakan tersebut akan berlaku sementara, terhitung sejak diundangkan tanggal 15 Juli 2022 sampai dengan 31 Agustus 2022.

Sementara dimulai 1 September akan berlaku kembali tarif maksimal 240 dolar AS/ton untuk harga CPO di atas 1.500 dolar AS/ton, dengan perubahan tarif advalorem yang progresif terhadap harga.

"Belajar dari negara lain, dalam kondisi ini mereka menerapkan pajak ekspor dengan nilai yang rendah misalnya Thailand hanya sekitar 7 persen, Malaysia 3 persen, Vietnam sebesar 13 persen, sementara Indonesia justru menerapkan pungutan dan pajak sebanyak 60 persen," ujarnya dikutip dari Antara, Kamis (21/7/2022).

Oleh karena itu, lanjutnya, jika pemerintah ingin meningkatkan harga sawit di tingkat petani, maka salah satunya dengan melakukan evaluasi terhadap besaran BK dan PE yang saat ini diterapkan.

Kepala Bidang Organisasi dan Anggota Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin menambahkan pencabutan sementara PE minyak sawit sesuai regulasi PMK no 115/2022 belum bisa menjadi solusi dalam meningkatkan harga TBS sawit petani.

Menurut dia, kebijakan pencabutan PE saat ini dianggap terlambat karena harga TBS sawit sudah di bawah Rp1.000/kg, apalagi saat ini tata kelola kebun sawit di tingkat petani sudah tidak lagi diperhatikan.

"Tata kelola sawit harus diperhatikan, selanjutnya harus pula dihitung Kemenko dan Kementan seberapa besar PE akan bisa menormalkan harga TBS Sawit. Itu harus menjadi titik evaluasi penerapan kebijakan PE," katanya dalam sebuah diskusi yang digelar Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI).

Sementara itu, Jaringan Petani Sawit Nasional, Suaduon Sitorus menyatakan guna pemulihan harga sawit ke depan ada sejumlah kebijakan yang bisa diterapkan salah satunya memberikan insentif kepada para pelaku ekspor dengan melakukan pengurangan nilai BK.

Menurut dia, penerbitan PMK No. 115/2022 belum mampu menjadi solusi yang tuntas sebab penghapusan PE hanya berlaku hingga 31 Agustus 2022, sementara per September 2022 akan diadakan kembali dan nilainya menjadi 240 dolar AS/ton dari sebelumnya 200 dolar AS/ton.

"Kebijakan ini akan memberikan respons kepada pengusaha dengan tidak menaikkan harga TBS sawit, kami melihat ini bukan solusi,"katanya.

Ketua Umum POPSI Pahala Sibuea menyatakan pemerintah seharusnya melakukan diskusi yang mendalam dengan mengikutsertakan petani yang menerima dampak langsung dari kebijakan tersebut sebelum mengeluarkan penghapusan sementara PE minyak sawit yang hanya berlaku sampai 31 Agustus 2022.

"(PMK 115/2022) jangan dilaksanakan sebelum pengaturan PE dan bea keluar diperbaiki terlebih dahulu. Kami bisa diajak diskusi bagaimana cara menerapkan PE dan BK itu supaya tidak memberatkan petani," katanya. (Antara)

Load More