Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Senin, 11 Oktober 2021 | 12:06 WIB
Mohamad Agar Kalipke saat menunjukan karya berupa kamus dan pantun yang ditulisnya. [Suara.com/Panji Ahmad Syuhada]

Lalu pada 1983, setamat SMA, ia pun berangkat lagi ke Jerman untuk waktu yang lama. Kisah panjang 37 tahun di negara Eropa dilaluinya penuh suka dan duka mulai saat itu.

Di sana, lantaran sistem pendidikan yang berbeda, masa itu Agar kembali bersekolah setara jenjang SMA kurang lebih satu setengah tahun. Lepas itu, barulah ia masuk ke jenjang pendidikan sekolah tinggi.

Selama berkuliah, ia juga banyak berjumpa dengan warga negara Indonesia yang menetap di Jerman. Di sana, kehidupannya juga turut difasilitasi oleh Hans Kalipke; ilmuwan Jerman tadi.

Sepuluh tahun berselang, Hans Kalipke mengangkat Agar menjadi anaknya. Sejak saat itu, nama belakang sang ilmuwan itu tersemat di nama belakang Agar; Mohamad Agar Kalipke.

Hidup di Jerman ternyata memberikan pengalaman berharga bagi cendikiawan Sakai ini.

"Kuliahnya pertama kali saya sendirian, lama-lama kenal satu dan lain-lainnya. Ada juga di sana kelompok keluarga Islam Indonesia, itu rutin jumpa dan ada kegiatan pengajiannya," tuturnya.

Di jurusan sastra dan bahasa Universitas Hamburg itu, Agar yang memulai pendidikan sekitar tahun 1989, akhirnya selesai pada tahun 2000.

"Tahun 89-90 mulai studinya. Tahun 2000 selesai. Saya termasuk mahasiswa yang lama, karena bahasa asing," ungkapnya.

Setamat S-2 tersebut, Agar ternyata juga melanjutkan studi doktoral di Jerman. Namun karena beberapa kendala, studinya tersebut pun saat ini masih belum tuntas. Bahkan ia juga pernah menjadi dosen bahasa Indonesia di negeri Hitler tersebut.

"Sekarang S-3 berhenti dulu, jika umur masih panjang insyaallah dilanjutkan," ujarnya.

Load More